Archive for the ‘Artikel Comotan’ Category

Mereka Bukan Primitif !

Posted: November 15, 2011 in Artikel Comotan

“Kalau kita merasa tidak ada masa lah dengan kata “primitif”, yang berkeliaran bebas, tulisan ini akan membuatnya tampak sangat ber masalah. Dan, kalau tetap merasa tidak ada masalah, mungkin masalahnya ada pada diri Anda. Saran saya: segera temui psikiater terdekat”.

PRIMITIVE RUNAWAY, sebuah tayangan televisi, yang mungkin merupakan titik kulminasi hasil pemahaman kolektif masyarakat Indonesia tentang masyarakat adat, adalah salah satu sumber masalah itu. Tayangan ini bukan saja mengandung satu, tapi tiga masalah sekaligus: (1) mendiskriminasikan masyarakat adat dengan menyematkan predikat “primitif”, (2) merekayasa realitas kehidupan masyarakat adat, dan (3) mereproduksi dan menyebarkan kesesatan berpikir mengenai masyarakat adat.
Program baru Trans TV yang diputar seminggu sekali ini menayangkan kisah perjalanan dan aktivitas pasangan selebritas di suatu komunitas masyarakat adat. Jualan kecapnya sudah seksi sejak awal, yakni memperolok eksotisme dan membenturkan modernitas dengan tradisionalitas. Ramuan ini melahirkan cerita dan konflik. Pengusaha memang selalu tahu resep tokcer.
Lantas apa masalahnya? Mari simak edisi 31 Juli 2010 dengan bintang tamu Ramon dan Ladya Cheryl yang berkunjung ke suku Sakkudai, Mentawai. Lewat sudut pandang yang diambil, pemirsa disuguhi kesesatan dan kebohongan mengenai orang Sakkudai yang ditampilkan bodoh, terbelakang, dan jauh dari santun. Ada adegan orang Sakkudai yang menjilati bingkisan yang diberikan. Ada adegan di mana kedua bintang tamu oleh orang Sakkudai dipaksa mengenakan pakaian adat, bahkan seorang perempuan tua bertelanjang dada “beraksi” dengan berusaha melepaskan paksa busana “kota” Ladya. Tak kalah seru, ditampilkan pula adegan pemaksaan melakukan tradisi kikir gigi dan tato tubuh kepada para artis.
Benarkah apa yang terlihat di layar kaca dibandingkan dengan situasi sebenarnya? Mungkinkah suatu komunitas yang selama ini dikenal arif dalam tradisinya, terlebih hanyalah kelompok minoritas, berani memaksakan tradisinya kepada mereka yang datang dengan busana berbeda sambil menenteng Blackberry dan menggotong kamera besar? Apakah saya ingin mengatakan itu semua bagian dari rekayasa yang selama ini memang menjadi mainan para pekerja industri televisi kita? Simpan dulu jawabannya.
Edisi lain pada 28 Agustus dan 4 September 2010, yang masing-masing bertempat di masyarakat adat Sasak Bayan (Lombok) dan Tuatunu (Pangkal Pinang), pun menampilkan hal yang sama, bahwa masyarakat adat adalah bodoh, terbelakang, dan tidak santun. Bahwa masyarakat adat selalu memaksa tamu dari luar untuk turut menjalankan tradisi mereka. Bahwa masyarakat adat adalah makhluk aneh yang perlu disorot handycam (dipegang oleh bintang tamu) sepanjang waktu, sekalipun telanjang.
Dan rupanya tayangan ini “berhasil” mereproduksi dan menyebarkan kesesatan berpikir mengenai masyarakat adat, karena beginilah bunyi dari para follower yang ada pada laman Twitter @primitiverunaway:
(1) lo boleh komentar, episode kali ini kurang primitif nih.. but, it’s okay.. bs nambah pngtahuan adat di bali..
(2) yep, episode ini kurang primitive! klo blh ksh msukan, ak prnah liat org luar k derah klimantan. ad tradisi ngeludah d rmah,
(3) Di suku pedalaman papua aja.. Yg msh kanibal..
(4) You’re great ! I Love. Tp edisi kali ini kurang primitif dan terlalu setting….. Sorry.Maju terus ya!

Warisan kolonial
“Itu ucapan yang sangat kasar. Orang akan marah sekali,” dengan bahasa Indonesia cadel seorang kawan Australia menanggapi pertanyaan saya tentang “primitif”. Di negaranya, istilah “primitif” haram untuk digunakan, baik dalam komunikasi verbal maupun media massa. Bahkan pemerintah Australia sampai perlu mendirikan lembaga bernama Equal Opportunity Commission agar masyarakat dapat mengadukan perlakuan diskiminatif yang terjadi.
Istilah “primitif” datang dari bahasa Latin, primitivus, artinya “yang pertama atau terawal dalam jenisnya”. Istilah ini pertama kali dipakai oleh para penulis dan penjelajah barat dalam mendeskripsikan masyarakat di luar budayanya. Mereka melukiskan masyarakat primitif sebagai tidak beradab, biadab, ganas, dan kejam. Tujuannya jelas, dengan merendahkan, mereka bisa menjajah dengan lebih leluasa.
Pada 27 Februari 2009 di harian The Independent, direktur Survival International Stephen Corry berpendapat bahwa pemerintah mengambil keuntungan dari kekeliruan pemahaman masyarakat dalam memprimitifkan masyarakat adat. “Kebodohan” dan “keterbelakangan” menjadi alasan pemerintah untuk “mendidik” dan “memodernkan” masyarakat adat. Dan atas nama pembangunan, “keprimitifan” menjadi alat pembenar untuk merampas tanah masyarakat adat.
Memprimitifkan adalah mental penjajah. Ia adalah warisan kolonial yang kemudian malah diadopsi negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia II (Domman, 2008:4-5 dalam Rizaldi Siagian, Kompas 13 Desember 2009). Menggelikan, memprimitifkan orang lain dipakai para terjajah untuk menjajah!
Adalah sebuah kepandiran ketika kita menghakimi suatu kebudayaan dengan memakai kacamata budaya sendiri. Adalah ketidakadilan kalau kita mengukur seseorang melalui ukuran kita. Itu adalah sikap etnosentris yang sangat bertentangan dengan pendekatan kebudayaan yang relativis (Nakagawa, 2000:8-9). Karena itu John Simpsons, editor BBC, berkata, “Tidak ada yang primitif dalam masyarakat adat kecuali pandangan kita terhadap mereka.”
Masyarakat adat hanya memiliki cara hidup yang berbeda dengan kebanyakan orang, tapi mereka bukan primitif – tidakkah keteguhan cara hidup mereka yang khas itu suatu keindahan? Mereka tidak tinggal di masa lalu, karena kelompok masyarakat manapun selalu berubah dan beradaptasi seturut tuntutan jaman – dan konteks sosial-kultural mereka memang tidak membutuhkan Bvlgari dan Senayan City. Pun mereka tidak terbelakang, mengingat cara mereka dalam mengatasi hidup – seperti kembali mengutip Simpsons, “Kerumitan masyarakatnya, kemampuan yang luar biasa dalam melangsungkan eksistensi mereka dan memanfaatkan alam sekitar, membuat kita bertanya-tanya.”
Memprimitifkan suatu kelompok masyarakat adalah bentuk diskriminasi. Ini merupakan sebuah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Harian terkemuka di Inggris seperti The Guardian dan The Observer, sejak 2009 sudah melarang penggunaan terminologi “primitif” untuk mendeskripsikan masyarakat adat.
Primitif adalah pelabelan yang menyakitkan. Ia oleh masyarakat kebanyakan dimaknai biadab, bodoh, terbelakang, dan “belum manusia”. Melihat situasi sekarang – seorang ibu membakar anaknya hidup-hidup, pekerja LSM memperkaya diri lewat proposal fiktif, bupati mengorupsi uang rakyat, media “membunuh” Luna-Ariel-Tari, agama menjadi pembenar untuk melakukan kekerasan, dokter menolak pasien miskin, televisi menebar kekerasan dan kebodohan – siapakah yang biadab? Siapakah yang primitif? Anda boleh jawab sekarang.

Sumber: Koran Tempo, 24 November 2010
Oleh : Roy Thaniago

Cerita ini diambil dari kumpulan kisah yang pernah dilontarkan Gus Dur (alm)

Alkisah ketika Gusdur melawat ke Malaysia, seorang teman Malaysia mengatakan teori gravitasi pertama kali diperkenalkan oleh orang Malaysia, namanya Wan Irus Wan Ismambu, jadi bukan oleh Newton yang orang Inggris. Hikayat teori gravitasi yang sering didengar awam adalah bagaimana Newton berada di sebuah taman dan memperhatikan buah kesukaannya, Apel, jatuh kemudian ia menulis teori gravitasi.

Yang terjadi dengan Wan Irus, sebetulnya mirip. Wan Irus sering pergi ke hutan untuk mengambil buah kesukaannya. Sayang Wan Irus tidak sempat menulis teori gravitasi ketika sebuah durian yang sangat besar menimpa kepalanya. Ia pun wafat di tempat tanpa sempat menuliskan teori gravitasi….

Hehehe….ada – ada aja Gus Dur….:)

Dahulukan Mutu Sebelum Status

SUDAH saatnya pemerintah menggegaskan evaluasi menyeluruh terhadap sekolah rintisan berstandar internasional. Melalui evaluasi ini, setidaknya ada dua hal yang perlu dijawab. Pertama, biaya sekolah yang sangat mahal; dan kedua, mutu pendidikan yang tak setara dengan label internasional.

Bermula empat tahun lalu, program ini dikawal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 50 undang-undang itu mewajibkan pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah di semua jenjang sebagai satuan pendidikan bertaraf internasional. Hingga 2009, sudah ada 1.110 sekolah jenis itu di seluruh Indonesia, meliputi SD, SMP, SMU, dan sekolah menengah kejuruan. Menteri Pendidikan Mohammad Nuh bahkan menargetkan, sekolah rintisan itu bisa “naik kelas” menjadi sekolah berstandar internasional pada 2012.

Program sekolah rintisan itu pada dasarnya patut didukung agar mutu sekolah kita mampu bersaing di level internasional. Sangat disayangkan, dalam empat tahun terakhir, Departemen Pendidikan telah mencabut izin 18 sekolah rintisan karena mutunya yang jelek. Kurikulum dan pendidik berstandar internasional-bergelar master atau doktor dengan bahasa pengantar Inggris-belum banyak terlihat. Padahal sekolah-sekolah ini sungguh “internasional” tarifnya. Uang masuk mulai Rp 7,5 juta hingga Rp 30 juta, plus uang sekolah bulanan ratusan ribu rupiah.

Pihak sekolah mendalihkan biaya itu demi menunjang fasilitas belajar-ruang ber-AC, laptop, akses Internet tanpa limit-sesuatu yang agak sulit diterima dari aspek prioritas. Pertama, bukankah mutu kurikulum dan kualitas pendidik yang perlu didahulukan? Faktanya, sebagian besar guru sekolah rintisan tetap mengajar dalam bahasa Indonesia. Tempo bahkan menemukan sekolah rintisan yang gurunya mengajar dalam bahasa Indonesia-didampingi penerjemah!

Kedua, Departemen Pendidikan telah melimpahkan hibah miliaran rupiah. Setiap SMP rintisan menerima Rp 300 juta pada 2010, SMU dan SMK mendapat Rp 600 juta untuk periode yang sama. Di sinilah perlunya evaluasi itu. Orang tua yang ingin anaknya “berkualitas internasional” mungkin sudi mengupayakan biaya mahal itu. Tapi mereka berhak mendapat informasi transparan tentang penggunaan biaya, dan menerima jaminan anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu.

Subsidi khusus bagi murid-murid cemerlang dari golongan kurang mampu perlu dipertimbangkan. Bukankah programnya sebagian dibiayai hibah pemerintah, yang notabene berasal dari uang rakyat? Apresiasi perlu kita berikan kepada sekolah rintisan yang sukses semacam SMP 19 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dilengkapi laboratorium multimedia, laboratorium bahasa, dan tenaga pengajar bergelar master, sekolah ini ditetapkan sebagai sekolah percontohan oleh organisasi menteri pendidikan Asia Tenggara.

Pencapaian SMP 19 menunjukkan sekolah rintisan bukan proyek mustahil. Tapi pemerintah perlu memperjelas standar internasional yang ingin dicapai, dan menyeragamkannya di semua sekolah rintisan. Upaya bisa diawali dengan mengaudit semua sekolah rintisan. Dari sini bisa ditetapkan mana yang bisa jalan terus, mana pula yang harus “diistirahatkan”. Jika tidak, lebih baiklah miliaran rupiah dana itu digunakan untuk mendirikan sekolah negeri murah dan menaikkan kesejahteraan guru, ketimbang sekadar “menginggriskan” sekolah dengan mutu yang enggak puguh.

Sumber : Majalah Tempo Online, 05 Juli 2010
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/07/05/OPI/mbm.20100705.OPI133989.id.html