Archive for the ‘Artikel HASB’ Category

KEL 6 & 12 Perang Suku Papua

Posted: February 24, 2013 in Artikel HASB

Perang Suku di Papua

Kebiasaan perang suku ada, sebelum injil masuk di Papua. Tapi, sebenarnya generasi terdahulu sudah banyak yang meninggalkan perang suku. Pada masa lalu penyebab perang suku ada beberapa hal. Struktur masyarakat Papua itu, ada suku, marga kemudian keluarga. Satu suku itu memiliki wilayah adat, di mana suku itu bisa hidup dan mencari nafkah. Nah, perang bisa terjadi kalau ada perebutan wilayah, karena ada suku yang memasuki wilayah suku lain. Untuk menyelesaikan hal seperti ini di masa lalu, sering ditempuh dengan cara perang antarsuku. Yang kedua persoalan wanita. Misalnya, orang dari satu suku merebut istri dari suku lain. Begitu juga kalau ada pencurian sumber daya ekonomi oleh satu suku kepada suku lain. Ini juga sering memicu terjadi perang. Jadi, tidak semua persoalan itu diselesaikan dengan perang suku. (more…)

KEL 5 & 11 Adat Pela Gandong

Posted: February 24, 2013 in Artikel HASB

ADAT PELA GANDONG DI BUMI MALUKU SEBAGAI BINGKAI PEMERSATU

Pela gandong merupakan suatu sebutan yang di berikan kepada dua atau lebih negeri yang saling mengangkat saudara satu sama lain. Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata “Pela” dan “Gandong”. Pela adalah suatu ikatan persatuan sedangkan gandong mempunyai arti saudara. Jadi pela gandong merupakan suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara.

 

Pela gandong sendiri sudah lama ada di Maluku, dan biasanya pela gandong itu terdiri dari dua negeri yang berlainan Agama (Islam dan Kristen). Hal itu tercipta dengan sendirinya karena suatu hal. Seperti halnya negeri Kailolo dan Tihulale yang berada di Kabupaten Maluku Tengah yang pada tanggal 2 Oktober 2009 dihadapan Gubernur Maluku saling mengangkat pela sebagai ikat saudara.

 

Konon ceritanya pada zaman pemerintahan kolonial Belanda sudah terciptanya hubungan yang saling menguntungkan antara kedua negeri tersebut yang mana pada tahun 1921 M ketika ada lomba perahu belang yang diadakan oleh pemerintah Belanda di daerah Maluku Tengah kedua negeri tersebut berada dalam satu tim, Dalam satu tim itu kedua negeri berhasil memenangkan perlombaan sehingga timbulah suatu hubungan antara kedua negeri itu dengan akrab, dalam keakraban itu diperlihatkan pada saat negeri Kailolo sedang melakukan pembangunan Mesjid Nan Datu setahun kemudian, kemudian negeri Kailolo mengundang negeri Tihulale dan negeri Tihulale datang tanpa tangan kosong. Mereka membawa sejumlah kayu dan papan yang akan dipergunakan dalam pembangunan Mesjid. Sebaliknya beberapa tahun kemudian negeri Tihulale melakukan pembangunan Gereja Beth Eden, warga negeri Kailolo pun menyumbang banyak keramik. Kejadian barter ini terjadi pada sekitar tahun 1922 dan baru pada tahun2009 kira-kira mencapai 87 tahun kedua negeri ini baru melakukan ikrar sebagai ikatan orang basudara. 

 

Dari kronologis cerita diatas tentang terjadinya suatu pela antara dua negeri yang mayoritas penduduknya berbeda agama kita dapat mengetahui bahwasannya pela itu merupakan suatu unsur dari kebersamaan yang terjalin dalam waktu yang cukup lama sehingga diharapkan kedepannya hubungan orang basudara ini dapat dijadikan bingkai pemersatu orang-orang Maluku, karena dilihat dari segi fisik Maluku merupakan Provinsi kepulauan terbesar di Indonesia sehingga hal itu menyebabkan banyaknya perbedaan agama, suku, dan ras. Namun disisi lain nilai-nilai sakral yang disepakati dalam hubungan pela perlu dijaga dan dipertahankan karena budaya pela gandong ini bisa dijadikan sebagai budaya khas orang Maluku karena dilihat budaya ini tidak terdapat di daerah-daerah lain di Indonesia.

 

Sistem budaya Pela-Gandong merupakan ikatan persahabatan dan persaudaraan yang diaktualisasikan dalam sapaan-sapaan kekerabatan, seperti Nyong Pee, Nona Pee, Gandongee, Bongsoee, ataupun aktivitas tolongmenolong dalam keadaan aman ataupun kesusahan. Larangan dan kewajiban di antara warga yang ber-pela dan ber-gandong itu dipelihara dan ditaati dengan penuh tanggung jawab karena didasari adanya penghormatan atas janji dan sumpah leluhur yang telah mengikat dirinya, keluarga, bahkan negeri. Pada waktu-waktu tertentu ada Upacara Panas Pela atau Panas Gandong, yaitu upacara adat perekat hubungan persaudaraan, yang berusaha terus menghidupkan ingatan-ingatan tentang kebersamaan di antara mereka.

 

Pasca Konflik yang melanda Maluku (1999-2002) merupakan suatu tragedi yang sangat begitu memilukan bagi orang-orang Maluku. Padahal pela gandong yang terjalin, telah lama terjadi sebelum adanya konflik. Namun konflik tetap terjadi, hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai sakral dalam ikatan pela begitu rapuh dengan mudahnya. Maka dari itu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku diharapkan agar lebih memerhatikan budaya pela yang sudah terjalin sejak lama sebab budaya pela merupakan bingkai pemersatu orang-orang Maluku. Budaya pela gandong itu sendiri merupakan suatu aspek kehidupan sosial yang ada pada masyarakat Maluku sejak lama sehingga perlu dikembangkan.

Saat ini Budaya pela gandong orang Maluku mulai diupayakan oleh Pemerintah sebagai suatu cara agar diantara masyarakat Maluku yang terlihat berbeda agama, ras, suku sehingga diantara keragaman yang ada dapat terciptanya suatu kebersamaan. Kebersamaan yang ada di harapkan bisa menjadi suatu pendorong terciptanya Maluku yang damai, tentram, dan aman. Tetapi kita sebagai warga masyarakat Maluku tetap tidak bisa berpangku tangan oleh pemerintah, melainkan kita juga harus berusaha dengan cara saling menghargai dan bertoleransi antara umat beragama, suku, dan ras yang mana masyarakat Maluku itu sendiri memiliki banyak keragaman di antara masyarakat.

Sebagai kata akhir dari tulisan ini budaya pela gandong yang merupakan bingkai pemersatu antara orang-orang Maluku agar lebih diperhatikan dan dilestarikan kebudayaannya, serta difahamkan kepada generasi muda sehingga dengan hal ini kita harapkan Maluku bisa menjadi suatu Provinsi yang penuh dengan damai walaupun banyak sekali terdapat perbedaan yang ada pada masyarakat Maluku dan menjadi suatu contoh kepada provinsi-provinsi lain di Indonesia.

KEL 4 & 10 Pecalang di Bali

Posted: February 24, 2013 in Artikel HASB

Pecalang : Polisi Tradisional Bali

Siapa sebenarnya pecalang? Kenapa masyarakat Bali sampai sedemikian menghargai dan menghormati mereka yang berpakaian pecalang dengan kerisnya yang terselip dipinggang ini?  Ciri khasnya adalah memakai kain kotak-kotak dengan keris terhunus dipinggangnya. Memakai pakaian adat Bali lengkap, udeng dikepala, kemeja putih dan sering memakai rompi bertuliskan PECALANG DESA ADAT. Yah itulah sosok seorang pecalang.  PECALANG sering juga disebut polisi traditional Bali. Tugasnya adalah mengamankan suatu kegiatan yg berkaitan dengan adat, seperti: upacara keagamaan, prosesi ngaben, prosesi pernikahan, dll yg berkaitan dengan upacara adat di Bali. Secara umum tugas mereka tidak ada beda dengan polisi biasa spt mengatur lalu lintas di sekitar lokasi upacara, mengawal prosesi ngaben sampai ke kuburan. Tapi dalam kegiatannya, pecalang berkoordinasi dengan pihak POLRI.

Menjadi pecalang adalah suatu pengabdian kepada masyarakat. Mereka tidak mendapatkan gaji. Tapi sebagai kompensasi mereka dibebaskan dari segala hal yg berkaitan dengan kewajiban warga. Mereka tidak kena iuran di banjar, tidak wajib ikut gotong royong dan lain-lain. Tapi konsekuensinya, mereka harus siap jika sewaktu-waktu harus bertugas kalo ada suatu kegiatan adat di desa setempat. Pecalang biasanya dipilih oleh warga banjar dengan masa tugas satu tahun.

Lalu apa arti kata Pecalang ?, mari kita kupas hal ini lebih lanjut.  Pecalang berasal dari kata ”calang” dan menurut etimolginya diambil dari kata ”celang” yang dapat diartikan waspada. Dari sini dapat kita artikan secara bebas, ”Pecalang” adalah seseorang yang ditugaskan untuk mengawasi keamanan desa adatnya. Ibaratnya sebagai petugas keamanan desa adat.  Disetiap kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak, pecalang akan turut dilibatkan secara aktif demi menjaga keamanan dan kelancaran kegiatan tersebut. Hampir setiap acara yang berkaitan dengan adat, seperti upacara adat di desanya, baik yang berskala kecil ataupun besar, pecalang akan diperankan untuk menjaga kelancaran acara tersebut. Bahkan bazzar banjar pun yang sebagaimana kita ketahui bukan kegiatan upacara turut diamankan oleh Pecalang.

Acara pameran pembangunan, pun tidak luput dari pengawasan pecalang bahkan pameran industri yang diselenggarakan pihak event organizer turut diamankan pecalang setempat. Konser-konser artis yang diselenggarakan di Bali juga banyak melibatkan pecalang.

Belakangan ini ada beberapa peristiwa yang merefleksikan adanya pecalang yang melenceng dan fungsi dan tugasnya. Pada beberapa masa yang lalu pernah terlihat yang mengesankan pecalang memperlihatkan sikap arogansi, sok jagoan, dan sok berani. Mungkin ini karena banyaknya muda-mudi yang terlibat sebagai pecalang, dan tanpa ada proses seleksi.

Beberapa daerah di pedesaan sudah melakukan seleksi ini, para pecalang ditunjuk oleh Kelihan Adat, dan mereka sangat menjaga sikap perilaku mereka, dengan bertutur kata yang sopan. Seharusnya kita di daerah kota yang secara umum tingkat pendidikan masyarakatnya lebih tinggi mampu menyerap hal positif seperti ini. Banyak sekali saat ini kegiatan upacara keluarga juga ada pecalangnya, sebut saja upacara pernikahan maupun ngaben, jalan yang digunakan ditutup dan dijaga dengan ketat, seenaknya memerintahkan para pengguna jalan untuk mencari jalan alternatif, tanpa ada penjelasan atau keterangan kepada pengguna jalan, mereka harus lewat jalan mana. Padahal ada beberapa diantara mereka yang mungkin akan pulang kerumah dan hanya tinggal sedikit lagi jarak kerumahnya, terpaksa memutar mencari jalan lain. Penulis yakin mereka terpaksa mau melakukan hal ini, karena tidak ingin ribut, dan mungkin takut kalau-kalau sampai dihajar massa hanya gara-gara ingin bernegosiasi. Wajar kah pecalang bersikap seperti itu? Penulis sangat yakin jawabanya tidak. Pecalang yang bertugas seharusnya mau berkomunikasi dengan pengguna jalan yang lain, minta permakluman kepada mereka jalan ditutup sementara karena ada kegiatan upacara adat. Apabila ada rumahnya yang dekat, setidaknya pecalang bisa memberikan dispensasi kepada mereka, dan apabila ada pengguna jalan yang bertanya harus lewat mana, seharusnya pecalang mau memberikan informasi yang benar dengan sikap persahabatan. Apakah susah? Ya. Inilah susah dan tanggung jawab sebagai pecalang, agar masyarakat merasa aman. Jangan asal menutup jalan dengan memasang tampang galak. Ingat ada kata-kata mutiara yang beredar di masyarakat kita, ”dadine ajak bisane anak melenan” artinya: boleh dan bisa itu berbeda. Semua orang bisa seenaknya menutup jalan tapi apakah kita boleh melakukan itu? Karena itu tugas polisi, dan tanggung jawab mereka, bukan tugas pecalang untuk menutup jalan. Apakah kita akan membiarkan kesan di masyarakat, pecalang tukang nutup jalan? Pecalang tukang mungut parkir? Pecalang galak?

Pecalang ditunjuk sesuai dengan kata ’celang’ agar mereka mampu bersikap waspada, hati-hati dalam bertindak agar keamanan dan kenyamanan desa adat terjaga, secara luas dapat memberikan perlindungan dan memberikan rasa aman kepada masyarakat, bukan dengan cara menakut-nakuti masyarakat. Dalam menjaga keamanan jalannya upacara adat yang berlangsung di lingkungan desa, apabila harus menutup jalan, setidaknya bisa memberikan jalan alternatif kepada pengguna jalan yang lain, dan mampu memberikan penjelasan kepada mereka bahwa ada penutupan jalan dengan sikap yang ramah.  Mari kita berpikir bagaimana memberikan pelayanan dengan solusi (service with solution).

KEL 3 & 9 Merarik di Lombok

Posted: February 24, 2013 in Artikel HASB

Merarik: Tradisi Menikah Ala Lombok

Tradisi merarik dalam budaya masyarakat suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, hingga kini lebih banyak dipahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tradisi merarik lebih banyak mendapat konotasi negatif sebagaimana pemahaman tentang kawin lari yang biasa dilakukan oleh pasangan remaja yang tidak mendapat restu dari orangtua.

Bahkan, akibat keluguan masyarakat Sasak yang menyederhanakan kata merarik dengan istilah memaling (mencuri), kesan negatif itu makin sulit dihindari. Meski ada juga tata cara perkawinan yang lain, seperti perjodohan dan melamar, pengertian merarik dengan konotasi negatif lebih banyak dikenal oleh masyarakat dari luar daerah.

Adalah keliru pandangan negatif terhadap tradisi merarik, karena dalam tradisi itu penuh dengan nilai yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di Lombok, ungkap pemerhati budaya Sasak, Lalu Pharmanegara. Pharmanegara mengatakan, dalam tradisi merarik seharusnya perempuan memiliki posisi yang sangat kuat dalam menentukan masa depannya. Tidak ada paksaan bagi perempuan untuk menentukan pilihannya.

Pemerhati budaya Sasak lainnya, M Yamin, mengatakan bahwa secara etimologis merarik berasal dari kata arik (adik). Dengan demikian, sebagai terminologi, merarik bermakna mengambil perempuan untuk dijadikan istri yang dalam keseharian suami memanggil arik terhadap istrinya. Kesan negatif merarik, menurut M Yamin, karena ia dilakukan diam-diam dan biasanya harus pada malam hari. Kalaupun bisa dilakukan siang hari, adat biasanya mengenakan konsekuensi tambahan.

Yamin mengatakan, dalam merarik, tidak begitu saja anak perempuan diambil dari rumah orangtuanya. Beberapa aturan adat harus dipenuhi, di antaranya yang mengambil harus orang lain, bukan calon suami. Yang ditugaskan mengambil pun bukan hanya kaum lelaki, tapi juga ada kaum perempuan yang akan menemani calon pengantin sampai proses merarik selesai.

Perempuan yang diambil pun tidak boleh dibawa langsung ke rumah calon suami, melainkan disembunyikan, atau dititipkan di rumah orang lain. Bahkan, supaya netral, perempuan yang di-ambil itu dititipkan di rumah tokoh masyarakat, seperti kepala kampung, kepala desa, dan sebagainya.

Upaya dan proses itu ditempuh adalah untuk menghindari kemungkinan pelanggaran adat dan agama. Dalam tradisi masyarakat Sasak, laki-perempuan yang akil-balik, saling pandang pun pantang, apalagi kontak fisik. Karenanya, dalam masa pacaran pun dikenal istilah subandar sebagai mediator kedua pihak

Menurut adat suku sasak ada beberapa cara perkawinan, yaitu perondongan (perjodohan), kawin lamar ( mepadik lamar) dan selarian ( merarik). Dalam tradisi Selarian Merarik, mempelai wanita dibawa lari. Merarik merupakan cara pernikahan yang paling sering digunakan oleh masyakarat Suku Sasak, karena dianggap paling terhormat. Merarik adalah proses menculik gadis yang hendak dinikahi dengan alasan menjaga kehormatan gadis. Untuk menculiknya, dicari hari dan bulan baik. Gadis yang diculik tersebut tidak dibawa pulang ke rumah calon suaminya, tetapi ditempatkan di rumah kerabat calon suaminya.

Dari pihak keluarga gadis yang merasa kehilangan, mereka melaporkan kepada kepala kampung atau kepala desa, proses ini disebut mesejati. Pihak lelaki memberi kabar atau nyelabar pada keluarga gadis bahwa anak gadisnya kawin lari. Urusan ini telah menjadi urusan desa, maka kepala desa mempelai laki-laki akan turun tangan memberitahu kepala desa pihak wanita, yang selanjutnya disampaikan kepada keluarga mempelai wanita.

Bagi penduduk beragama islam yang memasuki Waktu Telu, yaitu waktu dimana calon pengantin tidak boleh saling bertemu dan berbicara, kini diusahakan agar mereka bisa saling bicara untuk membicarakan pernikahannya. Caranya, mempelai pria mengirim utusan kepada pihak orang tua mempelai wanita untuk minta izin menobat rapah kedua mempelai. Ia akan memberikan 9 buah uang kepeng kepada utusannya dan selanjutnya uang itu digunakan menjadi selawat ketika kedua mempelai ditaubat rapah.

Kedua mempelai kemudian akan berwudu dihadapan kiyai sambil mengikrarkan pengakuannya kepada Allah dan Rasul-Nya, merekapun mengaku bertaubat sejak itu. Dengan berakhirnya ucapan taubat, mereka boleh berbicara lagi akan tetapi mereka masih tetap belum boleh berkumpul. Bersamaan dengan nyelabar, dikirim pula satu utusan yang dipimpin oleh seorang penghulu, selanjutnya dilaksanakanlah pernikahan secara Islam dengan akad nikah bagi kedua mempelai.

KEL 2 & 8 Tradisi Carok di Madura

Posted: February 24, 2013 in Artikel HASB

Tradisi Carok di Madura

Carok merupakan tradisi bertarung yang disebabkan karena alasan tertentu yang berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok atau antar klan dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri dan “keluar” dari masalah yang pelik.

Biasanya, “carok” merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga)

Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti ‘bertarung atas nama kehormatan’. Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad ke-18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).

Carok dalam bahasa Kawi Kuno artinya perkelahian. Pertengkaran tersebut biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan sering terjadi antar penduduk desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Jokotole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.

Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah seorang tokoh Madura yang menentang Belanda bernama Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan. Akhirnya hal tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilah Maduranya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu. Sementara dalam tradisi Sampang sendiri, ada kalimat yang menggambarkan tradisi carok, “Lakona daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tmbana kajaba ngero’ dara”. Kalimat itu berarti “Daging yang terluka masih bisa dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya, kecuali minum darah.”

 

Tiang penyangga kuatnya tradisi Madura tak lepas dari prinsip “ Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata “ maksudnya lebih baik mati daripada menanggung malu. Ungkapan ini berlaku demi untuk mempertahankan martabat, hak dan harga diri sebagai orang Madura. Dan biasanya timbulnya perselisihan tidak lepas dari permasalahan lingkungan (tanah/sawah, atau rebutan air irigasi) dan wanita.

Terkadang konflik antara dua orang biasanya merembet melibatkan orang lain, antar keluarga, kerabat bahkan sampai melibatkan semua penduduk kampong. Peristiwa carok antar kampong yang cukup mengerikan pernah terjadi beberapa tahun lampau, tepatnya di Bangkalan. Carok missal itu terjadi antara penduduk desa Bilaporah dengan penduduk Jodih saling berhadapan dengan clurit ditangan. Dan akibatnya 5 orang tewas serta beberapa puluh lainnya luka-luka parah. Kejadian ini sempat menggegerkan masyarakat Bangkalan khususnya, hingga membuat Bupati, Polisi, Tentara dan para ulama prihatin dan turun tangan. Dan banyak contoh-contoh lain yang kerap terjadi peristiwa carok di pulau Madura maupun daerah-daerah lain di Jawa yang kebanyakan dilator belakangi oleh adat istiadat yang dibawa dari Madura.

Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun). Dalihan dapat diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Keduanya mengandung arti yang sama, ‘3 POSISI PENTING’ dalam kekerabatan orang Batak.
Dalihan Na Tolu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.
Istilah Dalihan Na Tolu memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan budaya Batak. Dahulu untuk keperluan memasak beras (boras) menjadi nasi (indahan) orang Batak menggunakan periuk tanah (hudon tano) yang dipanaskan di atas suatu tungku yang unik. Tungku unik itu tersusun atas tiga batu besar berukuran sama. Bagaimanakah tiga batu itu bisa menjadi sebuah tungku? Ketiga batu berukuran sama itu diletakkan dalam satu lingkaran dengan jarak sama satu dengan lainnya sehingga posisi ketiganya seimbang untuk menopang periuk atau kuali di atasnya.
Tentu, batu itu adalah batu pilihan yang kokoh dan tidak mudah pecah oleh panas. Kemudian, di antara kaki-kaki batu itu ditaruh kayu bakar dan nyala api akan memanaskan periuk tanah yang berisi beras dan air di atas ketiga batu itu. Nama tungku yang terbuat dari tiga batu itu adalah Dalihan Na Tolu. Dalihan = tungku, Na = yang, Tolu = tiga (Tungku yang tiga)
Ternyata Dalihan Na Tolu itu menjadi filsafat utama orang Batak yang bertahan sampai saat ini dan menjadi pegangan dalam interaksi sesama orang Batak. Ketiga batu yang sama kuat itu dilambangkan sebagai tiga pihak yang sama kuat dan menjadi satu kesatuan yang seimbang. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan, karena dalam kekerabatan Batak terdapat tiga posisi yang akan kita duduki secara bergantian. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur, yaitu : Hula – Hula (pemberi wanita), Boru (Penerima Wanita) dan Dongan Tubu atau Sanina (Saudara Semarga).
Dalihan Natolu menjadi kerangka dalam mengatur hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan. Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut adalah:
– Somba Marhulahula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu(istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hulahula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hulahula. Tanpa hulahula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.
– Elek Marboru artinya menyayangi dan melindungi tehadap boru. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
– Manat Mardongan Tubu, artinya bersikap hati-hati terhadap saudara semarga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain sehingga harus berhati – hati dalam menjaga hubungan agar terhindar dari perseteruan

Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Dalihan Na Tolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan bermasyarakat.Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut; ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.