Archive for the ‘TULISANKU’ Category

Published at : Suara Merdeka 7 Oktober 2013 (WACANA NASIONAL)


MASYARAKAT Indonesia untuk kali ke sekian dihentak oleh ”tsunami besar ” dalam dunia hukum, ketika Rabu, 2 Oktober malam lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar karena diduga menerima suap terkait sengketa pilkada di Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah.

Media televisi malam itu saling berlomba menampilkan informasi paling eksklusif. Hampir semua media cetak mengubah haluan headline untuk terbitan paginya. Tak sampai 24 jam, KPK pun menetapkan Akil dan beberapa orang lainnya dari DPR dan kepala daerah sebagai tersangka kasus penyuapan tersebut.

Kaget dan prihatin, itulah kata yang terlontar dari berbagai kalangan pada hari-hari ini. Gelombang ”tsunami hukum” yang datang silih-berganti semakin memorakporandakan hukum dan keadilan di negeri ini. Sungguh ironi besar, ketika suara publik begitu kuat meneriakkan pengganyangan korupsi, di sisi lain penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tercemari oleh kejahatan luar biasa itu.

Lengkap sudah kolaborasi korupsi di negeri ini ketika tiga pilar negara berjamaah menjalankannya. Gagasan besar John Locke yang disempurnakan oleh Montesquieu untuk memisahkan kekuasaan ke dalam Trias Politika agar tercipta negara demokratis yang mampu mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan mendorong mekanisme check and balances menjadi porak-poranda di negeri ini. Semua justru berbagi kaveling dalam berladang korupsi.

Tidaklah mengherankan jika kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan keadilan makin tergerus. Jabatan sebagai penyelenggara negara yang pada awal pelantikan mereka katakan sebagai amanah, berubah menjadi khianat. Masyarakat bertanya-tanya, apakah yang salah dalam sistem politik, hukum, dan ketatanegaraan kita, sehingga badai korupsi datang silih-berganti?

Tentu kita masih ingat bagaimana pada awal reformasi, kemasifan praktik korupsi ditengarai sebagai akibat keminiman kesejahteraan penyelenggara negara dan penegak hukum. Pemerintah kemudian menaikkan kesejahteraan atau remunerasi yang cukup signifikan bagi aparat yang rawan dengan penyalahgunaan kekuasaan, semisal pegawai Ditjen Pajak, Bea dan Cukai, juga aparat penegak hukum dari polisi, jaksa, dan hakim.

Maka masih banyak dipertanyakan efektivitas kebijakan tersebut ketika ternyata muncul rentetan kasus yang melibatkan pegawai pajak Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, jaksa Urip Tri Gunawan, hakim tipikor Kartini Marpaung dan Heri Kisbandono di Semarang, politikus Angelina Sondakh, Luthfi Hasan Ishaaq, Irjen Pol Djoko Susilo, Rubi Rubiandini dan berderet kasus lain yang tak kalah menggemparkan.

Kini masyarakat kembali disuguhi drama terheboh yang melibatkan Ketua MK. Mahkamah Konstitusi selama ini digadang-gadang sebagai benteng terakhir keadilan yang masih steril dari praktik kotor. Kamis, 3 Oktober lalu KPK menetapkan Akil Mochtar sebagai tersangka. Tentu bukan hal sepele, karena lazimnya kasus yang disidik KPK hampir pasti sampai meja pengadilan karena memiliki bukti kuat permulaan terhadap pelanggaran hukum.

Berbagai kasus tersebut menunjukkan tesis tentang keminiman kesejahteraan penyelenggara negara dan penegak hukum sebagai faktor pemicu korupsi tidak selamanya benar. Pendapatan yang ditingkatkan belum terbukti efektif mengerem nafsu koruptif. Sebaliknya, menjadi bargaining untuk menaikkan ”tarif” suap yang harus diberikan kepada mereka. Masyarakat pun seolah-olah telah terbiasa ketika membaca angka-angka miliaran korupsi.

Proses Komodifikasi

Dari berbagai peristiwa tersebut, termasuk kasus Akil, tampaknya dunia hukum di Indonesia mengalami proses komodifikasi. Mengacu pemikiran kaum Marxian, komodifikasi dapat dilihat sebagai proses mengubah tujuan dan fungsi suatu aktivitas atau benda yang seharusnya nonkomersial dan bersih dari kepentingan kapital, menjadi komoditas menggiurkan yang membawa banyak keuntungan kapital.

Dunia hukum yang seharusnya menjadi sarana menegakkan kebenaran dan keadilan bagi semua orang, terkomodifikasi sebagai alat untuk memperoleh keuntungan bagi sebagian aparat penegak hukum. Kapitalisme yang saat ini menghegemoni kehidupan dunia, merasuk ke ranah hukum, sehingga kini hukum memiliki fungsi laten menjadi alat transaksi ekonomi.

Penyelesaian kasus-kasus hukum kini cenderung transaksional, dan proses tersebut tidak pernah dipelajari oleh aparat penegak hukum ketika mereka masih di fakultas hukum atau Akademi Kepolisian. Kapitalismelah yang dijadikan guru, sehingga dengan cerdik (bukan cerdas) bagai kancil, mereka mampu memanfaatkan wewenang hukum untuk pemupukan modal kapital.

Hasilnya, sengketa pilkada disulap sebagai peluang pemupukan kapital karena sudah menjadi naluri orang yang bersengketa pasti akan berusaha dan bersaing menjadi pemenang. Inilah peluang kapital yang kemudian ditangkap dan dimainkan oleh aparat penegak hukum yang amoral.

Inilah ironi dunia penegakan hukum dan kita masih harus bersabar menunggu karena tampaknya epilog drama korupsi belum juga kunjung tiba waktunya. Tapi dengan sistem yang baik, didukung keterjagaan integritas moral individu penegak hukum, kita tetap harus optimistis korupsi dapat dilawan. Kita berharap, setelah peristiwa Akil, epilog segera datang untuk mengakhiri drama yang seolah-oleh tak kunjung usai. (10)

— Kuncoro Bayu Prasetyo SAnt MA, dosen Antropologi di UNNES dan Pengajar di Akademi Kepolisian

Dapat dibaca di Link berikut :
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/10/07/239283/Ketika-Hukum-Terkomodifikasi

Published at: Jurnal Dimensi Vol.2 No. 3 bulan Juli 2010 hal. 27-34; Universitas Trunojoyo Bangkalan Madura

PENDAHULUAN

Permasalahan mengenai seksualitas selalu menjadi bahan kajian yang menarik bagi banyak kalangan. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa seksualitas adalah permasalahan privat dan mentabukannya untuk dibicarakan di ranah publik. Namun disisi lain karena dianggap sebagai hal yang tabu, maka permasalahan mengenai seksualitas telah menjadi fenomena yang membuat penasaran dan menarik perhatian banyak orang.

Dalam kajian – kajian ilmu sosial, khususnya antropologi, permasalahan seksualitas bukan hanya sekedar menyangkut persoalan biologis, namun juga memiliki dimensi lain seperti religi, psikologi, dan sosial-budaya. Banyak orang selama ini memahami seksualitas sebatas istilah seks. Padahal antara seks dengan seksualitas merupakan hal yang berbeda. Menurut Zawid (1994), kata seks sering digunakan dalam dua hal, yaitu berkaitan dengan aktivitas seksual genital, dan sebagai label gender (jenis kelamin). Sedangkan seksualitas memiliki arti yang lebih luas karena meliputi bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut terhadap orang lain melalui tindakan yang dilakukannya seperti, sentuhan, ciuman, pelukan, senggama, atau melalui perilaku yang lebih halus  seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpakaian, dan perbendaharaan kata (Purnawan, 2004). Dengan demikian maka seksualitas sebenarnya merupakan sebuah konsep, konstruksi sosial terhadap nilai, orientasi, dan perilaku yang berkaitan dengan seks.

Studi – studi mengenai seksualitas setidaknya mengenal tiga jenis orientasi dan perilaku seksual yaitu heteroseksual, homoseksual dan biseksual. Namun, di dalam studi seksualitas, wacana – wacana mengenai homoseksual lebih mendapat perhatian khusus karena keberadaanya yang banyak menjadi isu kontroversial dalam masyarakat, terutama pada masyarakat yang memiliki religiusitas kuat dimana homoseksualitas dianggap bertentangan dengan ajaran – ajaran agama.

Homoseksual atau homofilia dapat difenisikan sebagai gejala dan prilaku yang ditandai oleh ketertarikan secara emosi dan seks, pada seseorang terhadap orang lain yang sama jenis kelaminnya (Oetomo, 2001). Homofilia dapat dijumpai di mana saja dalam kehidupan manusia karena secara biologis-psikologis manusia dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan tindakan seks yang jauh lebih banyak macamnya daripada hanya senggama penis dengan vagina (Oetomo, 2001).

Secara teoritis, homoseksualitas dapat diartikan sebagai rasa tertarik secara perasaan baik itu kasih sayang atau hubungan emosional dan secara erotik, baik secara predominan maupun ekslusif terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik. Homoseksual lebih tepatnya mengacu pada orang, baik laki-laki ataupun perempuan yang memakai orientasi homoseksualnya sebagai kriteria pokok dalam mendefinisikan identitasnya atau lebih dikenal dengan istilah Gay untuk pria dan Lesbian untuk wanita.

Dorongan untuk mencintai sesama jenis ini ada secara alami dan terdapat di dalam kebudayaan di seluruh dunia. Kita dapat melihat bagaimana sejarah homoseksualitas manusia merupakan sejarah yang panjang, dan terbentuk sejak ribuan tahun yang lalu. Homoseksualitas bukanlah fenomena yang baru ditemukan saat ini, namun telah dikenal sejak sebelum masa kehidupan modern. Dalam kisah – kisah beberapa agama besar dunia (Kristen dan Islam) yang telah ditulis ribuan tahun lalu, fenomena homoseksual sudah menjadi topik yang diperbincangkan dalam kitab – kitab suci. Dalam Al-Qur’an maupun Alkitab terdapat kisah Nabi Luth beserta umat homoseksual di kota Sadum (Sodom), dimana kaum homoseksual dianggap sebagai kaum terlaknat sehingga Tuhan kemudian menimpakan bencana kepada mereka karena tidak mau mengikuti seruan Nabi Luth untuk kembali pada “jalan yang benar” yaitu meninggalkan kehidupan homoseksual.

Nampaknya konstruksi homoseksual sebagai suatu perilaku menyimpang di dalam ajaran agama telah berpengaruh besar dalam membentuk konstruksi sosial budaya mengenai homoseksualitas. Sebagian besar masyarakat di dunia mengkategorikan homoseksualitas sebagai suatu kelainan seksual, bahkan ada yang menganggapnya sebagai perilaku seksual menyimpang. Oleh sebab itu eksistensi kaum homoseksual pada banyak masyarakat cenderung bersifat terselubung dan menjadi sub-kultur yang ekslusif, marginal dan terdiskriminasi. Kaum homoseksual merasa bahwa keberadaan mereka belum sepenuhnya dapat diterima di masyarakat sehingga tidak semua kaum homoseks berani terus terang dengan keadaaan mereka.

Istilah homoseks sendiri muncul pada tahun 1869 dalam bidang ilmu psikiatri di Eropa. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Karl-Maria Kertbeny dan menjadi populer ketika dipergunakan oleh Richard Freiherr von Krafft-Ebing dalam buku yang berjudul Psychopathia Sexualis (dalam http://id.wikipedia.org). Dalam buku tersebut penjelasan mengenai homoseksualitas mengacu pada fenomena psikoseksual yang berkonotasi klinis. Pada masa itu homoseksualitas dianggap sebagai satu bentuk kelainan jiwa (mental disorder). Oleh karena dianggap sebagai penyakit jiwa, maka para penderita homoseksual pada masa lalu diharuskan menjalani terapi penyembuhan agar memiliki orientasi seksual heteroseksual. Akan tetapi sejak tahun 1974, homoseksual kemudian dikeluarkan dari daftar gangguan mental dalam Digital and Statistical Manual of Mental Disorder, yaitu buku panduan untuk menganalisis gangguan mental yang dibuat American Psychiatric Association.

Dengan melihat sejarah panjang homoseksualitas tersebut, dapat dipahami bahwa fenomena homoseksualitas bukanlah suatu fenomena yang baru muncul di era modern, melainkan sudah dikenal lama dalam peradaban manusia. Fenomena homoseksual merupakan fenomena universal yang dapat kita temui di berbagai masyarakat. Kita bisa melihat misalnya, bahwa di antara 15 Kaisar Roma yang pertama, konon, 14 adalah homoseksual. Bahkan Michel Foucault, Alexander The Great dan Leonardo Da Vinci pun adalah homoseksual.

Begitu pula pada masyarakat di Indonesia, ternyata kita dapat menemukan fenomena homoseksualitas sejak masa lalu. Menurut Dede Oetomo, seperti dikutip dari bukunya Memberi Suara pada Yang Bisu (2001), bahwa banyak kebudayaan di Indonesia yang sebenarnnya telah melembagakan praktek – praktek homoseksualitas dalam praktek kebudayaannya. Hal ini dapat ditemukan misalnya dalam The Acehnese karya seorang antropolog ahli Aceh, C Snouck Hurgronye yang menyebutkan bahwa laki-laki Aceh pada masa itu sangat menggemari budak dari Nias. Budak-budak lelaki yang remaja tersebut, dalam posisinya sebagai penari (seudati). Dalam tarian Seudati yang dimainkan oleh laki – laki, beberapa diantara penarinya diambil dari remaja laki – laki yang berasal dari keluarga miskin di pedalaman. Tarian yang umumnya diperagakan 15-20 pria dewasa atau disebut dalem atau aduen ini, juga menyertakan seorang anak laki-laki kecil nan tampan. Sang anak, disebut sadati, didandani mirip perempuan. Mereka umumnya berasal dari Aceh pegunungan atau Nias. Anak-anak ini direkrut melalui “transaksi” antara dalem dan orangtuanya. Orangtua berharap anak mereka dipelihara dalem supaya memperoleh hidup layak.

Kisah erotisme tari Seudati tersebut juga dapat ditemukan dalam naskah kuno berjudul Hikayat Ranto, tulisan Leube Isa di Pidie (Gatra, 2003). Menurut Hikayat tersebut, tak satu pun perantau Aceh yang berkebun lada di Pidie bisa pulang dengan jiwa bersih. Rusaknya orang rantauan itu karena jauh dari anak-istri sehingga untuk mengusir sepi, mereka berjudi, mabuk, dan bercinta dengan anak muda.

Menurut Prof.Dr. T Ibrahim Alfian (dalam Gatra, 2003), apa yang dituturkan Snouck Hurgronje dan juga Hikayat Ranto memang realitas kehidupan Aceh di masa lalu. Fenomena homoseksual Aceh masa lampau itu, menurut Ibrahim Alfian, muncul karena ketatnya norma yang membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan lajang. Oleh karena ketatnya pembatasan relasi lelaki dan wanita, sehingga terkadang pelampiasan seksual tercurah pada sesama jenis.

Dalam tulisan Dede Oetomo (2001) disebutkan pula bahwa praktek homoseksual juga terjadi dalam kebudayaan masyarakat Makassar. Di sana ada seorang laki-laki yang disebut kawe dan diberi tugas menjaga pusaka dengan jabatan yang dinamai bissu. Seorang bissu mengenakan pakaian perempuan, dan berperilaku homoseks atau menjauhi kontak dengan perempuan, diduga demi sakralitas pusaka-pusaka yang dijaganya. Bissu menjadi orang yang cukup disegani di dalam masyarakat karena peran sosial dan ritualnya yang penting.

Sedangkan pada satu suku bangsa di Papua, terdapat tradisi untuk menyodomi anak laki – laki yang menginjak remaja sebagai proses inisiasi untuk menjadi dewasa. Untuk menjadi dewasa, dalam pandangan suku tersebut seorang anak laki – laki harus diberi cairan laki – laki (sperma) dari orang dewasa supaya ia dapat menjadi kuat dan gagah, dan proses pemberian cairan laki – laki tersebut dilakukan dengan cara menyodomi anak remaja tersebut.

HOMOSEKSUALITAS DALAM MASYARAKAT JAWA

Di dalam masyarakat Jawa, praktek homoseksualitas bukanlah sesuatu yang baru. Wacana – wacana homoseksualitas di Jawa telah muncul semenjak abad 19. Menurut Benedict Anderson (dalam Oetomo, 2001) yang pada pertengahan tahun 1964 pernah melakukan studi di Indonesia menemukan bahwa dalam Serat Centhini, sebuah karya sastra Jawa abad ke-19, ternyata ditemukan cerita – cerita mengenai adegan seks antar lelaki. Kitab yang ditulis para pujangga kraton di masa Sunan Pakubuwono IV ini memuat adegan homoseksual secara gamblang.

Dalam salah satu bagian di Serat Centhini dibicarakan tentang bagaimana praktek homoseksualitas dilakukan oleh para tokoh cerita tersebut. Misalnya dalam kisah perjalanan Mas Cebolang. Ada satu adegan dalam buku panjang itu bagaimana Adipati Wirasaba melakukan hubungan seksual dengan Mas Cebolang alias Mas Ngali, seorang putra pertapa yang tengah mengembara di abad ke-17. Mas Cebolang digambarkan sebagai pemuda yang cantik, satuhu lamun binagus/lir lanyapan munggeng kelir/amung pasemone wadon (pemuda yang rupawan/bagaikan tokoh dalam wayang/dengan raut muka kewanita – wanitaan). Centhini menyebut hubungan seks itu dengan istilah jambu dan jinambu. Sang adipati pada akhirnya dikisahkan sebagai pihak yang kesakitan, tepatnya pada anus.

Homoseksualitas tidak hanya dikenal dalam wacana kesusastraan Jawa, namun juga terdapat dalam praktek kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini bisa kita lihat di Ponorogo, Jawa Timur dalam sebuah tradisi hubungan warok – gemblak. Keberadaan warok dan gemblak di Ponorogo tidak dapat  dilepaskan dari kesenian rakyat yang disebut Reog yang telah menjadi trademark Kabupaten Ponorogo (Digdoyo, 2004). Kesenian ini diduga peninggalan tradisi Kerajaan Hindu Kediri yang berkuasa sekitar tahun 1045 hingga tahun 1222 Masehi. Karena itu pentas Reog tidak pernah lepas dari pakem cerita peperangan antara Kerajaan Bantar Angin dan Kediri.

Warok merupakan tokoh utama dalam pertunjukan reog. Warok dalam reog diterjemahkan sebagai sosok yang dikenal sebagai seseorang yang menguasai ilmu kesaktian (ngelmu) dalam pengertian kejawen, atau menguasai kepandaian beladiri dan kesaktian. Ia juga sering berperan sebagai pemimpin lokal informal dengan banyak pengikut. Dalam pentas, sosok warok lebih terlihat sebagai pengawal atau punggawa raja Klana Sewandana (bagi warok muda) atau sesepuh dan guru (bagi warok tua). Dalam pentas – pentas reog, sosok warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan, digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan berjalan dengan bantuan tongkat.

Kisah keberadaan warok tidak dapat dilepaskan dari legenda Warok Suromenggolo yang masyhur pada masa kerajaan Majapahit. Warok Suromenggolo, yang diperkirakan hidup pada permulaan Kerajaan Majapahit mengawali kisah mistis itu. Warok itu memiliki pusaka berupa kolor sakti yang dapat digunakan untuk membunuh lawan. Selain itu ia juga memiliki pusakayang lain, luyung bang, yang dapat digunakan untuk menghidupkan orang mati.

Dikisahkan, putri Warok Suromenggolo bernama Cempluk jatuh cinta pada Subroto, putra penguasa Trenggalek. Akan tetapi ternyata Subroto juga dicintai oleh putri seorang warok lain, Warok Surogentho yang bernama Suminten. Singkat cerita kedua warok tersebut akhirnya berperang tanding demi membela anak – anak mereka. Akhir pertarungan tersebut dimenangkan oleh Warok Suromenggolo, setelah ia berhasil membunuh Surogentho dengan cara menyabetkan kolor saktinya.

Kisah kolor sakti Suromenggolo telah melahirkan legenda kedigdayaan warok yang jadi kebanggaan masyarakat Ponorogo. Oleh sebab itu istilah “Warok” kemudian digunakan sebagai sebutan bagi orang yang dianggap sakti, digdaya dan memiliki kelebihan fisik maupun supranatural. Warok dicitrakan sebagai orang kuat yang disegani. Keberadaan warok kemudian menjadi tokoh sentral dalam kesenian reog, dan menjadi pemimpin sebuah kelompok reog yang beranggotakan 20 – 30 orang. Peranan warok ternyata tidak hanya di dalam pentas reog dan lingkup kelompok kesenian reog tersebut, namun juga memiliki peranan dalam kehidupan sosial masyarakat Ponorogo. Warok juga dianggap sebagai tokoh, sesepuh, dan pemimpin di masyarakat. Oleh sebab itu peranan warok tidak berbeda jauh dengan peranan tokoh masyarakat lain seperti kepala desa, guru, kyai atau tokoh masyarakat lainnya (Digdoyo, 2004)

Dalam kesenian reog, selain warok sebagai tokoh sentral, juga dikenal keberadaan tokoh pembarong yaitu orang yang membawa “barongan” serta gemblak atau remaja laki – laki berparas tampan yang menjadi pendamping warok. Relasi antara warok dan gemblak tersebutlah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk relasi homoseksual yang telah melembaga dalam tradisi reog ponorogo.

Poerwowijoyo (dalam Fauzannafi, 2005:127) menjelaskan bahwa keberadaan gemblak dalam kelompok pertunjukan reog adalah sebagai peraga jaranan atau penari jathil, dan selalu diperankan oleh laki – laki remaja berparas tampan yang berusia antara 10 hingga 17 tahun. Lebih lanjut dijelaskan bahwa persyaratan penari jathil (gemblak) haruslah laki – laki karena seorang warok sesuai dengan ajaran perguruannya sangat dilarang kesengsem atau jatuh cinta dengan perempuan. Jika mereka jatuh cinta pada perempuan maka kekebalannya akan hilang, kulit menjadi empuk, tulang menjadi rapuh dan perut menjadi seperti gedebog pisang.

Keberadaan dan eksistensi relasi warok – gemblak tersebut cenderung dapat diterima oleh masyarakat lokal karena telah menjadi bagian dari tradisi setempat, dan sang warok meskipun diketahui memiliki hubungan gemblak tetap menjadi tokoh yang dihormati dan disegani oleh para anggota kelompoknya maupun oleh masyarakat di sekitarnya.

WAROK DAN GEMBLAK: SEBUAH RELASI HOMOSEKSUALITAS DI JAWA

Munculnya relasi warokgemblak tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemunculan warok itu sendiri, dan bagaimana seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan untuk dapat ditahbiskan sebagai seorang warok. Di dalam kesenian reog ada dua macam warok, yaitu warok tua (sesepuh) dan warok muda. Warok tua dianggap sebagai pengayom dan pemimpin kelompok reog, serta berperanan sebagai guru yang akan mewariskan ilmunya kepada beberapa warok muda yang ada dalam kelompok tersebut. Sementara warok muda merupakan warok yang masih dalam proses menuntut ilmu kanuragan dari gurunya, yaitu warok tua.

Untuk menjadi warok muda, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Salah satu syaratnya adalah tubuh harus “bersih” karena akan “diisi” dengan kekuatan dan kesaktian. Oleh sebab itu calon warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Jadi seandainya seorang warok telah memiliki istri, maka setelah ia memutuskan untuk menjadi warok sang istri tidak boleh lagi digauli secara seksual.

Setelah persyaratan diatas terpenuhi, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Persyaratan persyaratan di atas juga harus tetap dijalankan selama seseorang masih menjadi warok. Jika ada yang dilanggar, maka kesaktian sang warok akan hilang dengan sendirinya.

Dari segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok itulah kemudian muncul apa yang disebut dengan “gemblakan” (Aji; 2007). Gemblakan merupakan suatu upaya para warok untuk menyalurkan hasrat dan emosi seksualitasnya kepada sesama jenis, karena secara jelas warok dilarang berhubungan seksual dengan perempuan. Oleh sebab itu kemudian warok memiliki gemblak, yaitu anak laki-laki usia 12 – 17 tahun berparas tampan dan terawat yang dipeliharanya sebagai “klangenan”. Seorang gemblak memiliki peranan dalam pertunjukan reog, yaitu sebagai penari jathilan atau jaranan yang didandani menyerupai wanita. Namun selain peranan dalam pentas pertunjukan, peranan seorang gemblak juga akan berlanjut dalam kehidupan pribadi sang warok yang menjadi pengasuhnya.

Untuk mendapatkan seorang gemblak, warok harus melakukan pinangan sebagaimana halnya tradisi dalam perkawinan masyarakat Jawa untuk meminang istri. Seorang gemblak dipilih oleh warok berdasarkan ketampanan dan kebersihannya. Biasanya, sang warok meminang gemblak dengan mas kawin beberapa ekor sapi betina dan sebidang tanah. Setelah dipinang, gemblak yang artinya anak laki-laki pilihan akan dipenuhi segala kebutuhannya, dan diperlakukan seperti seorang “istri” selain istrinya yang asli.

Kesediaan seseorang untuk menjadi gemblak atau menyerahkan anaknya menjadi gemblak sebenarnya lebih didasari oleh motivasi ekonomi. Gemblak kebanyakan berasal dari kalangan keluarga yang kurang mampu, karena keluarga yang kurang mampu berharap mendapatkan penggantian materi atas kerelaaannya menyerahkan anak laki – lakinya sebagai gemblak kepada warok. Selain untuk kepentingan ekonomi keluarga, kesediaan menyerahkan anak menjadi gemblak juga sebagai upaya memberikan jaminan kehidupan dan kesejahteraan bagi anak tersebut karena segala keperluan hidupnya ditanggung oleh sang warok.

Dalam kehidupan warok, gemblak kemudian ikut tinggal di rumah warok. Gemblak selain menemani tidur warok juga bertugas untuk membersihkan rumah, menyiapkan makanan dan minuman, atau memelihara binatang peliharaan sang warok. Jika sang warok bepergian, gemblak biasanya selalu diajak serta karena dengan membawa gemblak dan diketahui banyak orang, hal tersebut merupakan sebuah kebanggaan bagi warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan adalah ciri khas dari relasi khusus antara warok dengan gemblaknya.

Kepemilikan seorang warok atas gemblak selain untuk menjaga kesaktian dan untuk kepentingan pentas reog, juga memiliki fungsi sebagai simbol status sosial. Semakin banyak gemblak yang dimiliki maka semakin tinggi pula status sosial atau prestise dan wibawa yang dimiliki oleh seorang warok. Oleh sebab itu seorang warok yang senior dan terkenal dapat memiliki gemblak hingga 5 – 6 orang.

Seorang gemblak secara alami seiring dengan proses menuju dewasa akan melepaskan diri sebagai seorang gemblak. Namun dapat pula terjadi seorang warok karena merasa telah bosan dengan gemblakannya kemudian memutuskan untuk mengembalikan gemblak kepada keluarganya meskipun masih berusia remaja. Setelah selesainya hubungan dengan gemblak tersebut, warok juga biasanya kemudian memberikan modal sebagai bekal kehidupan gemblaknya misalnya dengan memberikan seekor sapi.

 

PENUTUP

Fenomena hubungan warokgemblak memang merupakan fenomena yang unik di dalam masyarakat Jawa. Meskipun hanya spesifik berada di wilayah Jawa Timur, lebih khusus lagi di Kabupaten Ponorogo dan tidak dapat mencerminkan satu kebudayaan dominan Jawa, namun setidaknya keberadaan fenomena warokgemblak menunjukkan bahwa permasalahan seksualitas merupakan fenomena yang universal. Begitu pula keragaman bentuk dan relasi seksualitas merupakan fenomena yang dapat terjadi dimana saja, bahkan juga sangat mungkin ada di lingkungan kita sendiri.

Fenomena hubungan warokgemblak meskipun tidak sesemarak pada masa – masa hingga pertengahan abad ke-20,  masih dapat bertahan dalam tradisi masyarakat Ponorogo dan dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari peranan warok yang cukup menonjol dalam kehidupan sosial masyarakat setempat. Keberadaan warok sebagai orang yang dianggap memiliki kelebihan, kesaktian dan daya supranatural telah membentuk seorang warok menjadi sosok teladan dan kharismatis. Adapun relasi homoseksualitas yang dijalani warok, dalam kacamata masyarakat dianggap sebagai konsekuensi yang harus dijalani untuk mempertahankan kesaktian dan kelebihan warok, bukan semata– mata demi pelampiasan nafsu seksual.

Dinamika bentuk relasi warok dan gemblak saat ini juga telah banyak mengalami transformasi. Jika pada masa lalu hubungan tersebut banyak terjadi untuk kepentingan seksualitas fisikal, maka pada saat ini hubungan – hubungan yang masih bertahan lebih banyak didasari kepentingan psikis tanpa melibatkan relasi seksual secara fisik, misalnya sekedar menemani mengobrol atau menemani saat makan (Fauzannafi, 2005:129).

Jika dianalisis lebih lanjut dari ciri – ciri yang menandainya, relasi warokgemblak dapat dikategorikan sebagai relasi yang bersifat patron-klien. Sebagaimana dikemukakan Scott dalam Ahimsa-Putra (2007), ada beberapa ciri hubungan patron klien yang bersifat khas yaitu: 1) terdapatnya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran dan kedudukan; 2) adanya sifat tatap muka (face to face character); dan 3) sifatnya yang luwes dan meluas (diffuse flexybility).

Relasi patron-klien yang melandasi hubungan warok dan gemblaknya nampaknya memang menjadi pengikat yang membuat hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik. Prinsip resiprositas dan saling membutuhkan dirasakan oleh warok yang merasa perlu menjaga kesaktian dan kewibawaan, serta juga memerlukan pelampiasan emosi seksualitasnya yang dikekang dalam koridor aturan untuk tidak boleh berhubungan dengan perempuan. Sementara gemblak beserta keluarganya memerlukan jaminan ekonomi dan penghidupan yang lebih baik yang akan diperoleh dari warok yang secara status sosial dan ekonomi berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan mereka.

Sebagai catatan terakhir, jika kita memahami fenomena warokgemblak sebagai fenomena homoseksualitas, maka homoseksualitas yang terjadi dalam relasi tersebut merupakan homoseksualitas yang dikonstruksikan oleh konteks sosial – budaya yang ada, bukan semata – mata dorongan genetis ataupun psikis untuk menjadi homoseksual, karena pada kenyataannya banyak warok yang sebelumnya telah menikah dengan perempuan. Preferensi warok dan gemblak untuk menjadi homoseksual bukanlah semata karena orientasi seksual mereka mengarah pada orientasi homoseksual, namun lebih dikarenakan adanya “orientasi kebutuhan sosial dan rasional” untuk menyiasati pantangan berhubungan dengan perempuan, ataupun demi kepentingan ekonomi bagi gemblak. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dede Oetomo (2001) dimana ia mengatakan dalam pandangan sosio-konstruksionis, gender dan seksualitas merupakan konstruksi yang tidak selalu stabil atau terberi (given) melainkan dibentuk dan dirajut oleh masyarakat dalam konteks ruang dan waktu yang beraneka ragam.

 

DAFTAR RUJUKAN

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007. Patron dan Klien di Sulawesi Selatan Sebuah Kajian Fungsional-Struktural. Yogyakarta: Kepel Press.

Aji, Kresno. 2007. Sisi Lain Kehidupan Warok. 19 Agustus. Dalam http://opensource.jawatengah.go.id

Digdoyo, Eko. 2004. Posisi dan Peranan Warok pada Masyarakat Ponorogo.  Yogyakarta: Tesis S2 Antropologi Sekolah Pascasarjana UGM.

Fauzannafi, Muhammad Zamzam. 2005. Reog Ponorogo Menari di Antara Dominasi dan Keragaman. Yogyakarta: Keppel Press.

Majalah Gatra. 2003.  Hikayat Kaum Pentol Korek. 4 Oktober. Dalam http://www.gatra.co.id.

Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara Pada Yang Bisu. Yogyakarta: Galang Press.

Purnawan, I. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pada Anak Jalanan di Stasiun Kereta Api Lempuyangan Jogjakarta. Yogyakarta: Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM.

Wikipedia Indonesia. 2010. Homoseksualitas. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas.

Published at: Jurnal Komunitas Vol.3 No. 1 Maret 2010 hal. 21-29 ; Jur. Sosiologi & Antropologi FIS – Univ. Negeri Semarang.

Pendahuluan

Post-feminisme saat ini menjadi salah satu terminologi yang cukup populer dalam wacana – wacana era pasca modern (post-modern). Sebagai satu varian ideologi posmodernisme, tentu gerakan dan ideologi post-feminisme juga mengusung ide – ide yang ada dalam wacana postmodern. Boleh dikatakan bahwa gerakan post-feminist adalah perkawinan antara gerakan kesadaran gender yang dibingkai dengan perspektif postmodernisme. Post-feminisme juga banyak disebut sebagai gerakan feminisme gelombang ketiga dimana permainan wacana (discourse) menjadi salah satu bagian penting dari strategi gerakan.

Secara historis, akar gerakan feminisme sebagai gerakan yang memperjuangkan kepentingan kaum perempuan muncul pertama kali pada abad ke-19 pada era victorian. Gelombang pertama gerakan feminisme muncul pada abad 19 ketika kaum perempuan menuntut persamaan hak dengan laki – laki dan menyoal berbagai penindasan yang menimpa kaum perempuan, dan terwujud dengan pengakuan atas hak perempuan sebagai warganegara (hak sipil, ekonomi dan sosial), serta berbagai hak formal yang diakui oleh hukum (Van Vutch Tijsen,2000). Hak tersebut antara lain hak untuk ikut dalam pemilu, hak kepemilikan dan hak hukum lainnya.

Namun gerakan feminisme gelombang pertama tersebut belum mampu mengeluarkan perempuan dari kungkungan ideologi besar patriarki yang masih mengakar kuat. Kesederajatan yang ada masih bersifat formalitas belaka, sehingga kemudian muncul gerakan feminisme gelombang kedua pada tahun 1960-an. Perjuangan feminisme gelombang kedua ini lebih bermain pada level kultural dimana upaya – upaya menuntut kesetaraan relasi gender dan peranan sosial menjadi isu utama.

Gerakan feminisme gelombang ketiga atau yang lebih dikenal sebagai post-feminisme muncul pada era 1980-an, suatu era dimana ideologi dan diskursus post-modern sedang menemukan bentuknya. Post-feminisme muncul sebagai reaksi kejenuhan kaum muda (perempuan muda) terhadap gerakan feminisme yang telah ada, namun tidak kunjung mencapai tujuannya secara sempurna. Post-feminisme juga merupakan jawaban atas kegagalan emansipasi yang diperjuangkan kaum feminis. Berbagai gerakan feminisme di era post-modern ini banyak berjalan melalui berbagai discourse (wacana) yang banyak dikembangkan dalam pikiran masyarakat, salah satunya adalah melewati karya – karya tulis atau sastra populer (novel) seperti yang dilakukan oleh seorang feminist post-modern dari Mesir, Nawal El Saadawi, yang terkenal dengan karyanya Women at Point Zero, dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Perempuan di Titik Nol.

Dari Feminisme menuju Post-Feminisme

Post feminisme merupakan gerakan feminis pembebasan. Tidak sebagaimana ideologi feminisme gelombang pertama dan kedua yang berupaya memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan laki – laki, ideologi post-feminisme adalah membebaskan perempuan dari kungkungan struktur sosial yang hirarkis berkaitan dengan hubungan laki – laki dan perempuan. Kaum Post-feminis menganggap bahwa perempuan dapat bermakna adalah karena dirinya sendiri, bukan karena orang lain (laki – laki) yang memaknainya. Dalam pandangan post-feminis menuntut kesetaraan gender merupakan bentuk pengakuan terselubung atas peranan laki – laki karena dengan menuntut kesetaraan berarti perempuan masih membutuhkan pengakuan dari laki – laki agar dapat sejajar dengan mereka. Dengan  demikian tujuan gerakan post-feminisme sangat berbeda dengan gerakan feminisme sebelumnya. Post-feminisme tidak lagi bertujuan untuk mengejar kesetaraan (karena di dalam pengertian ini keberadaan laki – laki masih diperhitungkan), melainkan untuk membuat perempuan bermakna karena memang seharusnya mereka memiliki makna.

Prinsip – prinsip post-feminisme ini terlihat sejalan dengan ideologi post-strukturalis dimana ide pembebasan menjadi isu utama gerakan mereka. Pembebasan tersebut dilakukan untuk melawan beroperasinya struktur kekuasaan, hegemoni patriarki serta untuk memerdekaan diri (liberating) subyek. Gerakan post-feminisme berusaha untuk mendestabilisasi dan mendekonstruksi ideologi patriarki dan kehidupan masyarakat dunia yang phallosentris, menggantikannya dengan tatanan baru yang lebih cair dimana perempuan dapat mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya tanpa sekat – sekat struktural yang membelenggu.

Post feminisme sebagai sebuah gerakan dekonstruksi merupakan gerakan pembalikan atas nilai – nilai yang selama ini berlaku di dalam masyarakat. Masalah isu pornografi dapat menjadi contoh. Pornografi banyak ditentang oleh kaum perempuan, dengan asumsi pornografi telah mengeksploitasi tubuh perempuan habis-habisan, dan hanya lelakilah yang mendapatkan keuntungan. Mereka menunjukan data bahwa lelakilah konsumen terbanyak dalam peredaran pornografi. Di situ perempuan merasa dirinya dipermalukan, ditelanjangi bahkan beberapa mengatakan film porno adalah bentuk perkosaan lain dalam dunia fiksi media visual.

Tetapi paradigma post-feminis dapat membaliknya bahwa pornografi dapat digunakan untuk kesadaran seksualitas perempuan itu sendiri. Perempuan memiliki hak untuk menunjukan hasrat seksualitas dirinya. Bahwa hasrat seks sangat manusiawi, tentunya juga bagi perempuan. Pornografi dapat menyelamatkan perempuan dari ‘kungkungan tempat tidur’ yang selama ini hanya dikuasai lelaki. Perempuan pun akan bereksplorasi atas tubuhnya sendiri, dan itu berarti perempuan dapat memiliki dirinya sendiri yang selama ini kehadirannya hanya untuk lelaki. Demikian perempuan tidak lagi diletakan seperti boneka, dan lelaki tidak lagi bisa mengatur tentang ‘bagaimana perempuan seharusnya’.

Ikon pertama yang muncul dari era postfeminisme adalah Madonna di awal tahun 1980-an. Madonna disambut luar biasa oleh media masa karena penampilannya yang seksi dan sekaligus provokatif. Madonna kemudian menjadi wacana yang diperdebatkan oleh semua kalangan baik oleh para feminis, cendikiawan, pengamat budaya, maupun agamawan. Para feminis terpecah menjadi dua kubu, mereka yang mendukung buka-buka paha dan dada Madonna dan mereka yang mengecamnya sebagai pelecehan terhadap kaum perempuan. Begitu juga kaum moralis yang jelas menentangnya sebagai bentuk perbuatan yang immoral.

Akan tetapi dalam wacana post-feminisme, Madonna, adalah ikon dalam semangat membalik atau dekonstruksi. Kapitalisme dan tubuhnya ia gunakan untuk menunjukkan kekuasaannya. Di sini Madonna sebagai tubuh perempuan tidak lagi menjadi korban eksploitasi, justru ia mampu mengeksploitasi media dan laki – laki. Madonna sendiri mengatakan bahwa ia sama sekali tidak merasa dieksploitir baik oleh media maupun oleh laki-laki. Ia menganggap justru melakukan eksploitasi terhadap baik media maupun laki-laki yang habis ia keruk uang mereka hanya karena mereka membeli impian-impian yang ia tawarkan. Fenomena Madonna menumbuhkan wacana mengenai pembebasan perempuan untuk meraih dirinya sendiri. Fenomena Madonna ingin memperlihatkan bagaimana perempuan dapat bernilai bagi dirinya sendiri, bebas dan independen, dan sadar betul akan harga yang ada pada dirinya.

Gerakan-gerakan post memang menjadi kontroversial karena tidak sealur dengan standar nilai masyarakat dan agama, kemunculannya sering mengejutkan dan awalnya akan dianggap sebagai kehadiran yang melenceng. Namun bila dipahami dan dipelajari lebih dalam, pemahaman post termasuk post-feminisme sesungguhnya melengkapi perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan dan hegemoni. Pemikiran-pemikiran posmodernisme atau  posstrukturalis dalam gerakan post-feminis tidak lagi memfokuskan dirinya pada isu – isu klasik tentang bagaimana perempuan menjadi sama dengan laki-laki, tetapi lebih memfokuskan pada isu bagaimana keadilan dapat dicapai dengan “perbedaan” itu sendiri, dan justru mempertanyakan mengapa perempuan harus menjadi sama dengan laki-laki sedangkan kita di ciptakan berbeda.

Kesadaran akan perbedaan inilah yang akhirnya melahirkan gerakan feminisme baru yakni feminisme gelombang ketiga atau feminisme postmoderen. Helene Cixous, seorang tokoh feminis Postmoderen Perancis menyatakan bahwa selama ini telah terjadi kemapanan cara berpikir dan menulis laki-laki yang didasarkan pada oposisi biner (laki/perempuan, matahari/bulan, alam/budaya, dan sebagainya). Menurut Cixous apa yang terjadi adalah perempuan eksis dalam dunia yang telah didefiniskan oleh laki-laki dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh laki-laki. Laki-laki kemudian menjadi self dan perempuan menjadi other (Arivia, 2004).

Oleh sebab itu gerakan post-feminisme menolak dikotomi oposisi biner yang masih terasa dalam ide – ide feminisme sebelumnya. Lembaga perkawinan dipandang sebagai instrumen yang mengoperasikan dikotomi oposisi biner laki – laki dan perempuan yang lebih banyak merugikan kaum perempuan karena relasi yang tidak setara dibangun di dalamnya. Perkawinan merupakan upaya menginstitusionalisasikan opresi (tekanan) terhadap kaum perempuan, sehingga perlu dilawan dengan misalnya perempuan tidak perlu menikah. Bahkan penganut gerakan post-feminis radikal menunjukkan penolakannya terhadap opresi tersebut dengan melakukan gerakan lesbianisme. Dengan gerakan tersebut, perempuan akan menemukan maknanya pada dirinya sendiri, bukan makna yang muncul karena faktor di luar dirinya.

Kisah Perempuan di Titik Nol: Pertarungan Wacana Post-Feminisme

Novel  karya Nawal El Saadawi yang berjudul asli Women at Point Zero, ditulis pada tahun 1975. Nawal adalah seorang dokter jiwa (psikiater) yang bertugas di penjara Kairo, sekaligus juga seorang jurnalis dan pejuang feminis beraliran post-strukturalis (pascamodern). Sebagaimana para penganut ideologi pascamodern, perjuangan ideologi mereka lakukan melalui pertarungan discourse atau wacana, karena seperti dikatakan oleh seorang post-strukturalis Michel Foucault, kuasa yang paling kuat bukanlah senjata, negara ataupun modal (capital) melainkan kuasa pengetahuan (power of knowledge). Dengan menggerakkan wacana dan melalui wacana – wacana yang berhasil merasuk pada benak setiap orang itulah kekuasaan atau rezim kebenaran (regyme of truth) akan tercipta. Novel  Perempuan di Titik Nol merupakan salah satu bentuk perjuangan ala postmodern  yang dilakukan Nawal El Saadawi untuk memperjuangkan wacana ideologi feminisnya.

Kisah yang ia tuturkan dalam buku tersebut di inspirasi dari kisah nyata seorang perempuan bernama Firdaus, seorang pelacur yang dipenjara dan menunggu eksekusi hukuman mati karena dipersalahkan membunuh seorang laki – laki. Kisah Firdaus merupakan sebuah kisah perjuangan dan pembebasan seorang perempuan dari belenggu – belenggu struktural dan hegemoni masyarakat patriarkis yang sangat kental di Mesir. Nawal berhasil menemui Firdaus di penjara Qanatir beberapa hari menjelang eksekusi mati dilaksanakan. Melalui pendekatan yang gigih, ia berhasil mewawancarai Firdaus pada hari – hari terakhir hidupnya.

Firdaus lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang kelas bawah di Mesir. Keluarganya sebagaimana keluarga lain di masyarakat Mesir adalah keluarga tradisional dimana belenggu kekuasaan patriarki begitu terasa. Ibu dan anak – anak baru diperbolehkan makan setelah ayah selesai. Ayahnya bisa makan malam dengan lahap ketika anak perempuannya meninggal, dan memukul ibunya ketika anak lelakinya meninggal. Masa kecil Firdaus dipenuhi kerja keras untuk kepentingan keluarga dan untuk melayani ayahnya. Dia harus merelakan klitorisnya dipotong demi sebuah ritus yang wajib dijalani. Pada usia belia Firdaus juga berulangkali diperkosa oleh pamannya yang seorang mahasiswa Al Azhar di Kairo. Setelah kedua orang tuanya meninggal, ia diasuh oleh pamannya yang dahulu memperkosanya.

Firdaus hanya menyelesaikan sekolahnya hingga sekolah menengah, dan setelah itu oleh pamannya ia dikawinkan dengan seorang syeikh berumur 60 tahun dengan alasan agar tidak membebani kehidupan keluarga pamannya. Yang agak menjijikkan, syeikh ini mempunyai bisul bernanah di dagu. Malam pertama tentu bukan sesuatu yang romantis dan sakral. Hari-hari berlalu dan perlakuannya terhadap Firdaus melebihi batas; Firdaus dipukul hingga berdarah, harus patuh dan bekerja keras. Apa yang salah di Mesir ketika perempuan ditindas? “Adalah biasa suami memukul istri,” kata pamannya ketika Firdaus mengadu telah dianiaya suaminya.

Firdaus akhirnya melarikan diri, dan dalam pelariannya ia bertemu dengan seorang laki – laki bernama Bayoumi yang semula berniat menolongnya memberi tumpangan tempat tinggal, namun akhirnya malahan memanfaatkan untuk memuaskan nafsu seksualnya. Firdaus dikurung dalam rumahnya, dan setiap malam teman – teman Bayoumi datang untuk menidurinya.

Akhirnya Firdaus kembali melarikan diri, dan ia bertemu seorang perempuan di tepi sungai Nil. Perempuan bernama Sharifa inilah yang pada akhirnya memperkenalkan profesi “pelacur” kepada Firdaus. Pertemuannya dengan Sharifa telah memberi kesadaran Firdaus bahwa tubuhnya adalah bernilai, dan nilai itu hanya dapat diperoleh dari dirinya sendiri.  Kata Sharifa: “Laki – laki tidak akan pernah menyadari nilai yang ada di tubuh perempuan. Perempuan itulah yang akan menentukan nilainya sendiri. Semakin tinggi kau menaruh harga bagi dirimu, semakin mereka menyadari harga dirimu, dan dia akan bersiap untuk membayarmu”. Dengan berprofesi sebagai pelacur, pada usia 25 tahun, Firdaus telah memiliki apartemen mewah plus pelayan pribadi.

Profesinya sebagai pelacur menyadarkan Firdaus bahwa ia kini telah menemukan kebebasan dan menemukan dirinya sendiri. Ia dapat dengan sesuka hatinya memberi harga pada tubuhnya, ia juga dapat leluasa memilih ingin tidur dengan siapa saja, serta menolak tidur dengan laki – laki yang tidak disukainya. Ia merasa bahwa kini tubuhnya adalah sepenuhnya miliknya, dan ia dapat memperlakukan tubuhnya sebagaimana ia inginkan.

Dengan menjadi pelacur Firdaus tahu satu hal : ia telah terbebas dari despotisme lelaki di dalam rumah tangga. Namun pada akhirnya Firdaus harus menemui kenyataan bahwa menjadi seorang pelacur pun ternyata tidak sepenuhnya membebaskan dirinya dari belenggu kekuasaan laki – laki. Seorang germo datang kepadanya dengan dalih untuk memberi perlindungan padanya, Firdaus menolaknya karena ia merasa ia dapat melindungi dirinya sendiri. Namun realita menunjukkan bahwa kekuatan seorang Firdaus tidak mampu menembus jaring – jaring kekuasaan yang telah diciptakan laki – laki, meskipun ia pergi ke polisi atau ke pengacara, ternyata tidak mampu melepaskan dirinya dari ancaman germo yang bernama Marzouk. Akhirnya kebebasan Firdaus sebagai pelacur berakhir dengan jatuhnya dirinya ke dalam seorang germo yang mengendalikan hidup banyak pelacur.

Namun Firdaus adalah seorang perempuan hebat, dengan beraninya ia mengambil kebebasannya kembali dengan membunuh laki – laki germo tersebut. Ia tidak rela seseorang (apalagi laki – laki) dengan semena – mena mengambil kebebasan yang telah ia perjuangkan. Peristiwa itu telah mengantarkannya ke penjara sehingga kemudian pengadilan menjatuhkan hukuman mati padanya. Segala tawaran grasi ia tolak karena ia meyakini bahwa kematianlah yang akan mengantarkannya pada kebebasan yang sesungguhnya.

Membawa Firdaus ke dalam Konteks Indonesia

Kisah nyata Firdaus di Mesir tersebut sungguh sangat menyentak kesadaran bagi siapapun yang membacanya. Muhtar Lubis dalam pengantarnya di terjemahan buku ini mengatakan bahwa buku ini banyak menyentak kesadaran karena adanya jalan berpikir yang radikal, bebas, dan keberaniannya mendobrak nilai – nilai kemapanan yang telah ada di dalam masyarakat. Bagaimana kita tidak terkesima ketika membaca beberapa pendapat Firdaus bahwa menjadi pelacur adalah sebuah kebebasan tertinggi yang bisa diperoleh perempuan karena ia bisa menghargai dirinya sebagaimana ia inginkan.

“….bahwa lelaki memaksa perempuan untuk menjual tubuhnya dengan harga tertentu, dan tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya adalah seorang yang cerdas maka saya memilih untuk menjadi pelacur yang bebas daripada menjadi istri yang diperbudak (hal 133)”.

Cerita hidup Firdaus seolah – olah telah menelanjangi para lelaki yang selama ini terbuai oleh rezim patriarki, mengungkap ketidakadilan dan opresi yang selama ini telah terjadi secara sistemik dan nirsadar, serta dengan berani telah mewacanakan ide – ide tentang pembebasan perempuan dari jerat – jerat struktural dan kultural kehidupan yang patriarki dan phallosentrik (berpusat pada laki – laki).

Konteks sosial-budaya yang ada di Mesir sebagai setting kisah Firdaus jika kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia tidaklah jauh berbeda. Mesir dan Indonesia boleh dikatakan banyak memiliki kesamaan, baik sebagai negara berkembang di dunia ketiga yang sedang giat dengan proyek modernisasi, sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim dan dimana masyarakatnya masih lekat dengan kehidupan dan budaya yang patriarkis. Sebagaimana yang terjadi di Mesir, perempuan Indonesia secara kultur masih ditempatkan sebagai the second sex. Dalam wacana kebudayaan dimana laki – laki memiliki posisi sebagai “self”, maka perempuan berada dalam posisi “other”. Kita dapat menyaksikan begitu banyak ketidakadilan yang dialami perempuan di Indonesia, adanya pembatasan akses perempuan terhadap kekuasaan, ekonomi maupun berbagai perlakuan kekerasan yang sering terjadi dalam rumah tangga (KDRT).

Gerakan feminisme di Indonesia hingga saat ini boleh dikatakan baru dapat bergerak dalam level – level formal, seperti adanya kuota 30% perempuan dalam lembaga legislatif, akses perempuan terhadap pendidikan atau pekerjaan. Namun secara kultural, hegemoni patriarki masih berakar kuat. Disinilah gerakan post-feminisme melihat bahwa gerakan feminisme biasa sudah tidak mampu berbuat lebih banyak lagi. Kita masih bisa melihat ironi dimana kebebasan perempuan berorganisasi tengah marak, ternyata masih ada organisasi perempuan yang keanggotaan serta struktur organisatorisnya masih tergantung pada kedudukan suaminya di kantor,  menjadi sebuah cermin dari emansipasi yang masih bersifat prosedural dan tidak substansial.

Wacana pembebasan sebagaimana yang dibawa dalam kisah Firdaus ini juga bisa kita temui dalam konteks Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, kontroversi kasus Inul dapat menjadi contoh bagaimana fenomena Inul telah menjadi ikon baru gerakan pembebasan perempuan posmodern. Ketika Inul menjadi sebuah berita besar karena dicekal oleh berbagai pihak mulai dari Majelis Ulama Indonesia hingga raja dangdut Indonesia, Rhoma Irama, sebagian besar feminis di Indonesia bereaksi. Pembacaan orasi hingga puisi digelar untuk mendukung Inul bahkan di bundaran HI sempat digelar sekaligus demonstrasi dan pertunjukkan kebolehan “ngebor” pantat-pantat para aktivis perempuan. Inul memang telah menjadi sebuah ikon pembebasan dari rasa ketertindasan ras, agama, kelas dan gender. (Arivia, 2004)

Kehadiran Inul, sebagaimana Firdaus di Mesir, atau juga Madonna di Amerika Serikat, juga telah menyentak kesadaran publik, karena fenomena Inul telah bergulir menjadi wacana yang memporak – porandakan berbagai ideologi yang dianggap telah mapan, entah itu ideologi tentang moralitas, nilai agama maupun nilai – nilai patriarki yang hegemonik dalam masyarakat Indonesia. Inul telah menjadi counter-discourse (wacana pembalikan) untuk menyadarkan kita terhadap keadaan masyarakat Indonesia yang hingga saat ini ternyata masih terbelenggu kultur patriarki. Belenggu patriarki ini tidak saja menjerat kaum perempuan namun juga secara tidak sadar telah menghegemoni mereka sehingga mereka merasa nyaman dengan keadaan tersebut. Bahkan dalam kasus Inul kaum perempuan yang telah terhegemoni kultur patriarki tersebut telah menjadi barisan yang ikut mengecam aksi Inul. Bahasa Inul dianggap menjadi bahasa yang “lain (other) ”, yang perlu dikoreksi oleh segenap masyarakat agar ia dapat mematuhi kontruksi sosial yang telah berjalan berabad-abad lamanya, dan selama ini tidak pernah ditentang.

Firdaus melalui keputusannya menjadi pelacur yang bebas dan sukses, Inul dengan goyang ngebornya, ataupun Madonna dengan keberaniannya mengeksploitasi tubuhnya, hanyalah ikon – ikon dari ideologi yang ingin diwacanakan dalam paradigma post-feminisme. Ikon – ikon tersebut sebenarnya mewakili banyak fenomena tersembunyi yang ada di dalam masyarakat, yaitu semangat dari kaum perempuan untuk bisa otonom dan independen, namun karena kungkungan kultur dan struktur patriarki dari dunia modern mengharuskan mereka untuk menyembunyikan diri dalam berbagai topeng dan kamuflase. Firdaus, Inul ataupun Madonna menjadi semangat perlawanan simbolik dalam wacana gerakan post-feminisme dalam upaya membongkar ideologi modern yang nyata – nyata menempatkan perempuan dalam posisi periferi.  Dan Inul di Indonesia telah berhasil menjadi ikon dari upaya pembangkitan kesadaran dan pembebasan perempuan agar ia dapat otonom terhadap diri dan tubuhnya.

Penutup

Buku karya Nawal El Saadawi ini boleh dikatakan menjadi satu representasi dimana gerakan post-feminisme melakukan pertarungan wacana dalam melawan hegemoni dan opresi (penindasan) patriarki. Jika dihubungkan dengan teori posmodernisme, kita bisa mengacu pendapat Keller (2005), bahwa modernitas banyak mengusung ideologi patriarki dan sangat seksis. Oleh sebab itu ide – ide postmodernitas sebagai gerak pembongkaran (dekonstruksi) terhadap nilai – nilai modern dan modernitas secara langsung atau tidak langsung juga mengandung ide dekonstruksi terhadap hegemoni patriarki tersebut. Disinilah posfeminisme memiliki titik temu dengan ide – ide posmodernisme.

Ide – ide yang diusung dalam berbagai wacana posfeminisme adalah mengenai perlawanan terhadap ketidakadilan dan tekanan – tekanan yang dialami perempuan baik oleh kultur maupun struktur sosial yang ada. Oleh sebab itu pembebasan subyek menjadi tujuan utama dari penggerakan wacana – wacana tersebut. Dan dalam kenyataannya di Mesir dan juga di banyak belahan dunia lain, buku Nawal ini menjadi salah satu karya post-feminist yang banyak didiskusikan, diperdebatkan ataupun bahkan dicerca dan dikecam. Begitu pula dalam konteks Indonesia, fenomena Inul telah menjadi wacana dalam upaya pembebasan perempuan dari opresi gender yang selama ini terjadi. Wacana – wacana inilah yang akan terus dikembangkan dalam gerakan feminis post-modern sehingga pada akhirnya diharapkan bergerak menjadi suatu regime of truth yang benar – benar dapat membebaskan perempuan sebagai dirinya sendiri, lepas dari kungkungan struktur – struktur yang akan membelenggu kedirian perempuan itu sendiri.

(Author: Kuncoro Bayu Prasetyo, S.Ant.,M.A.)

Referensi:

  • Arivia, Gadis; 2004; “Gelombang Ketiga Feminisme : Inul?” dalam Kompas, 17 Maret 2004.
  • El Saadawi,Nawal; 2006; “Perempuan di Titik Nol”; Jakarta; Yayasan Obor.
  • Foucault, Michel; 2007. “Order of Thing: Arkeologi Ilmu – Ilmu Kemanusiaan (terj); Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
  • Keller, Chaterine; 2005; “Menuju Suatu Posmodernitas Post Patriarkal” dalam David Griffin; “Visi – visi Posmodern, Spiritualitas dan Masyarakat”; Yogyakarta; Kanisius.
  • Lechte, John; 1994; “Fifty Key Contemporary Thinkers: From Structuralism to Postmodernity”; London & Newyork; Routledge.
  • Muji Sutrisno (ed); 2005; Teori – teori Kebudayaan; Yogyakarta; Kanisius.
  • Van Vutch Tijsen, Lieteke; 2000; “Perempuan, Antara Modernitas dan Postmodernitas” dalam Bryan Turner; Teori – Teori Modernitas dan Posmodernitas; Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Published at Suara Merdeka – Wacana / 19 Des 2009

DALAM minggu -minggu terakhir ini, kehidupan sosial, politik, dan hukum di Indonesia banyak diwarnai berbagai kejadian yang menyedot perhatian publik. Kasus terakhir yang cukup menyita perhatian adalah kriminalisasi pimpinan KPK serta mencuatnya kembali kasus Prita Mulyasari.

Kedua kasus tersebut mencapai klimaksnya ketika masyarakat sipil menciptakan gerakan sosial yang luar biasa dahsyat sehingga mampu memberikan peran yang sangat signifikan terhadap arah penanganan kasus tersebut. Gerakan sosial tersebut tercipta melalui apa yang disebut Gerakan Satu Juta Facebooker mendukung Bibit-Chandra, serta gerakan Koin untuk Prita yang digagas oleh komunitas blogger di Indonesia.

Kedua gerakan yang luar biasa hebat tersebut tercipta berkat adanya kemajuan teknologi informasi yaitu jaringan internet. Internet kini telah menjadi ruang sosial baru bagi banyak individu dalam masyarakat yang terbentuk dalam berbagai jejaring sosial seperti mailing list, blog, maupun situs perkawanan seperti facebook atau friendster.

Beberapa pemerhati kebudayaan mengatakan bahwa kemunculan internet dalam kehidupan manusia adalah bagaikan gempa tektonik berkekuatan 10 Skala Richter yang telah mengguncang peradaban umat manusia. Internet telah menjadikan seluruh sudut dunia terhubung dalam jaring ñ jaring informasi sehingga meniadakan batas jarak, ruang, dan waktu. Dengan meminjam istilah Marshall McLuhan, dunia saat ini telah telah tereduksi menjadi sebuah desa global (global village).

Dengan demikian, internet tidak hanya sekadar merevolusi cara manusia berelasi dan berkomunikasi yang menembus jarak, ruang, dan waktu, tetapi juga telah menciptakan satu bentuk masyarakat baru yaitu masyarakat virtual atau dengan istilah Benedict Anderson adalah komunitas imajiner yang dipersatukan oleh kesamaan interest, ideologi dan bahasa virtual.

Relasi yang terbentuk di dalam masyarakat virtual tentu saja berbeda dengan relasi – relasi tradisional yang berbasis tubuh. Ruang ñ ruang sosial telah bertransformasi dari ruang yang memerlukan dimensi bentuk dan spasial yang sangat fisikal menuju ruangan nirbentuk yang dapat berupa folder – folder ruang chating, blog, pesan dinding virtual, ataupun forum – forum diskusi virtual.

Dengan bentuk relasi yang tidak berbasis pada tubuh, maka yang menjadi dasar dari pembentukan sebuah komunitas di dunia maya tidak lagi sekadar kesamaan etnis, bahasa, ataupun identitas kelokalan. Relasi dalam dunia maya adalah relasi sebuah masyarakat tak berbatas (borderless society) yang jauh melintasi batas identitas lokal dan kultural.

Ruang cyber yang telah mengikis batas ñ batas geografis dan juga batas kebudayaan telah memberi peluang terhadap munculnya kehidupan multikultural. Komunitas ñ komunitas multikultur dapat dengan mudah terbentuk di ruang ñ ruang cyber.

Relasi yang terbentuk melalui ruang – ruang cyber memang kemudian menjadi relasi yang sangat unik, karena tidak lagi tersekat dengan jarak, ruang fisik, dan waktu. Seorang anak SMP di sudut kota Blora saat ini sangat mungkin memiliki kawan seorang mahasiswa yang tinggal di metropolitan New York. Atau juga seorang karyawan yang meskipun bekerja dari pagi hingga malam hari, tetap dapat memiliki ruang sosial di sela – sela waktu bekerjanya dengan berkumpul bersama teman – teman kuliahnya dulu melalui YahooMessenger atau Facebook.

Relasi yang diciptakan di dunia maya, selain membentuk masyarakat virtual, juga merupakan sebuah proses pembebasan subjek atas kekangan khas tradisional dalam hal komunikasi dan penyebaran informasi. Dalam pandangan ñ pandangan yang utopis tersebut, internet dianggap sebagai media emansipatoris atau media pembebasan karena ia menyediakan ruang komunikasi dua arah yang bebas dominasi, tidak seperti televisi atau radio misalnya yang hanya menyediakan komunikasi satu arah dan audiens dianggap sebagai subjek yang pasif. Internet dipandang telah menjadi ruang publik yang paling ideal di mana segala wacana dan opini dapat bebas disuarakan. Gagasan ruang publik (public sphere) sebagaimana dikemukakan Jurgen Habermas, yaitu sebagai ruang dimana opini publik bisa dibentuk, menemukan bentuknya yang nyata dalam dunia maya.

Tiadakan Jarak
Internet telah mampu meniadakan jarak antara audiens dengan produsen berita, sehingga dialektika hubungan terjalin secara equal, dan audiens memiliki kemampuan feedback yang lebih memadai. Internet dengan demikian telah menjelma menjadi media komunikasi di mana masyarakat tidak saja menjadi konsumen pasif dari berita atau informasi, melainkan juga dapat menjadi produsen berita itu sendiri.

Masyarakat juga menentukan ke arah mana berita itu akan dibawa, termasuk misalnya sebagai alat mengontrol kebijakan pemerintah yang dianggap keliru atau sebagai kontrol terhadap sistem hukum yang dianggap bermasalah seperti halnya yang telah terjadi dalam kasus Bibit-Chandra dan Prita Mulyasari.

Sebagai ruang publik, internet telah mampu memobilisasi wacana yang menjadi driving force sebuah perubahan yang daya tekannya lebih hebat daripada sekadar mobilisasi massa secara fisik. Bersama dengan masyarakat media lainnya, baik media cetak maupun elektronik, energi besar yang berada dalam masyarakat terbayang inilah yang menjadi kekuatan masyarakat sipil yang mampu menjadi alat kontrol sosial bagi kekuasaan negara, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan sebuah unjuk rasa yang melibatkan masyarakat secara fisik.

Fenomena gerakan Satu Juta Facebooker Pendukung Bibit-Chandra maupun gerakan Koin untuk Prita merupakan bukti nyata ketika internet telah menjelma menjadi ruang publik yang mampu memobilisasi wacana dan membentuk opini masyarakat serta mengambil peran besar dalam fungsi kontrol sosial masyarakat sipil yang sangat efektif atas kebijakan dan kekuasaan negara yang merugikan kepentingan dan keadilan masyarakat. (10)

— Kuncoro Bayu Prasetyo, SAnt, MA, dosen antropologi FIS Unnes

link at:
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/12/19/92118/Internet..Relasi..dan.Kontrol.Sosial

Published at Suara Merdeka – Wacana / 28 Agt 2009

WACANA yang mengemuka hari-hari ini adalah kembali menghangatnya perseteruan laten masyarakat Indonesia dengan jirannya terkait klaim Malaysia terhadap Tari Pendet dalam iklan pariwisatanya. Jika kita melihat rekam jejak berita selama ini, persengketaan Indonesia-Malaysia terjadi dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari permasalahan politik pada Orde Lama dengan Gerakan Ganyang Malaysia, Sengketa Sipadan-Ligitan maupun blok Ambalat. Persengketaan tersebut semakin meluas pada tahun-tahun terakhir dalam berbagai aspek mulai dari masalah buruh migran, pembalakan hutan, hingga berbagai permasalahan yang bernuansa selebritas seperti kasus Manohara Pinot. Tidak kalah seru adalah permasalahan klaim Malaysia yang merasa berhak memiliki produk dan simbol kebudayaan yang selama ini dianggap identik dengan masyarakat di Indonesia.

Tulisan singkat ini memfokuskan pada permasalahan klaim sepihak yang terjadi atas berbagai produk kebudayaan oleh Malaysia seperti yang dilakukan terhadap Tari Pendet, atau pada waktu sebelumnya terhadap kesenian Reog, musik Angklung, lagu Rasa Sayange, serta batik Indonesia. Itu mengundang reaksi besar dari masyarakat dan media Indonesia.

Pemerintah bahkan ikut angkat suara melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Luar Negeri bahkan Presiden SBY yang menyampaikan nota protes kepada pemerintah Malaysia atas klaim terhadap produk budaya di atas. Pemerintah Indonesia juga akan segera mempatenkan semua produk dan kekayaan budaya Indonesia ke UNESCO untuk menghindari klaim dari pihak di luar Indonesia (SM, 26/08/2009 hal 2).

Jika kita dipahami lebih mendalam, terlihat bahwa pangkal persoalan yang muncul atas klaim sepihak produk budaya di atas adalah ketika produk kebudayaan tersebut dimunculkan sebagai ikon dalam iklan industri pariwisata, dalam hal ini industri pariwisata Malaysia yang tengah gencar mempromosikan dirinya sebagai destinasi pariwisata terbaik di Asia dengan slogannya ‘’The Truly Asia’’. Dunia pariwisata kini tengah menjelma sebagai sebuah industri yang menjanjikan sehingga berbagai promosi pariwisata serta pengemasan produk pariwisata di banyak negara telah menyeret kebudayaan sebagai aset sekaligus produk yang ikut dikemas dan dijual kepada para konsumen pariwisata yaitu para wisatawan yang berasal dari luar wilayah kebudayaan tersebut.

Industri pariwisata dengan segala kepentingannya telah mempersempit makna kebudayaan itu dan menerjemahkannya hanya sebagai sebuah produk yang layak dijual. Padahal jika kita mendalami studi mengenai kebudayaan, makna kebudayaan sesungguhnya lebih luas dari sekadar sebuah produk, melainkan juga menyangkut aspek ide maupun perilaku manusia.
Mencairnya Batas dan Sekat Klaim sepihak terhadap produk budaya sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita memahami bahwa sebenarnya kebudayaan bukan hal yang sifatnya tunggal dan tersekat oleh batas spasial. Irwan Abdullah dalam buku Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (2007) mengemukakan, kita saat ini dalam memandang kebudayaan sudah tidak dapat lagi mengaitkannya dengan batasan wilayah geografis maupun politis karena kebudayaan tidak dapat lagi dikaitkan pada sebuah bounded system. Kebudayaan sudah sedemikian mencair hingga tidak kelihatan lagi batas yang jelas.

Tidak seperti anggapan masa lalu yang memandang kebudayaan terikat dalam suatu wilayah tertentu, maka studi kebudayaan saat ini memandang kebudayaan sebagai suatu hal yang lebih cair, tanpa batas yang jelas serta cenderung selalu bersintesis dengan kebudayaan masyarakat lain baik melalui proses difusi, asimilasi, akulturasi maupun globalisasi.

Kita akan menyaksikan fenomena bahwa kebudayaan Jawa tidak lagi terikat oleh wilayah geografis Pulau Jawa, melainkan telah mencair hingga ke Jakarta, Lampung, Deli, Kalimantan, bahkan Suriname. Kita juga tidak perlu heran ketika menemukan bahwa kampung komunitas Cina (Pecinan) dan Kampung Arab (Kauman atau Sayidan) terdapat hampir di semua kota di Indonesia. Masyarakat Semarang juga merasa sah ketika membanggakan Kuil Sam Poo Kong sebagai aset budaya mereka meskipun sebenarnya ikon pariwisata tersebut bersumber dari kebudayaan Tiong Hoa.

Globalisasi kebudayaan sebenarnya telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Jika kita mengklaim bahwa wayang beserta epos Ramayana dan Mahabarata adalah kesenian masyarakat Indonesia, maka sebenarnya yang terjadi adalah wayang tersebut berasal dari daratan Hindustan sejak ratusan tahun lalu kemudian menyebar melalui Thailand, Vietnam, Malaysia hingga di tanah Jawa.

Begitupun jika kita menengok saudara kita yang saat ini menjadi warga negara Suriname, mereka telah membawa warisan kebudayaan Jawa menjadi kebudayaan lokal di Suriname. Oleh sebab itu mengaitkan sebuah kebudayaan atau produk kebudayaan dengan lokalitas geografis maupun politis tidaklah selalu tepat. Kebudayaan Melayu bisa saja kita temui di semenanjung Malaya, Indocina, Sumatera, Kalimantan bahkan hingga ke kepulauan Filipina. Begitu pula kebudayaan masyarakat Papua eksis di Papua Barat (Indonesia) maupun di Papua New Guinea.

Kapitalisme secara nyata berhasil menggerakkan negara untuk mempatenkan produk budaya Indonesia sehingga menjamin pihak lain tidak mengambil keuntungan dari produk budaya tersebut. Upaya mempatenkan tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan telah terkooptasi oleh belenggu kapitalisme yang menjadikannnya sebagai komoditas industri. Oleh karena itu jika hari-hari ini kita masih asyik menikmati perdebatan mengenai klaim Malaysia atas kebudayaan Indonesia, maka yang sebenarnya tengah dipentaskan adalah kompetisi pasar yang sangat lazim terjadi dalam arena kapitalisme. (80)

—Kuncoro Bayu Prasetyo, S.Ant Mahasiswa Program Magister Antropologi Sekolah Pascasarjana UGM

link at:
http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=92118
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/08/28/78364/Tari.Pendet.Terkooptasi.Industrialisme